Pchss

Saya bukannya hendak melupakan mendiang istri saya dan berpaling pada Regina. Hanya saya harus sedikit mengurangi perasaan pada mendiang istri saya untuk menghargai keberadaan Regina.

Regina, sudah lama sekali dia bekerja dengan saya.

Sejak awal saya bertemu dengannya, saya merasa tertarik. Bukan, bukan dalam artian saya menyukainya karena sebuah euforia dalam hati saya. Saya masih bersama mendiang istri saya pada waktu itu.

Saya sudah menduga kalau Regina sangat kompeten dalam pekerjaannya. Dan itu terbukti. Tidak ada masalah yang pernah dia ciptakan selama bekerja. Semuanya berjalan dengan lancar.

Saya sering memberinya hadiah sebagai bentuk reward atas pencapaiannya selama bekerja. Dan dia sangat pantas mendapatkannya.

Malam itu, ah saya sebenernya tidak mau membicarakan ini. Tapi saya sangat yakin soal anak itu. Feeling saya kuat, namun ingatan saya tidak sepenuhnya saya ingat.

Keputusan saya untuk membawa Regina tinggal bersama bukan semata-mata bertujuan untuk pendekatan yang saya lakukan. Saya serius soal anak itu, soal keselamatan Regina dan anak itu. Saya juga tidak pernah main-main dalam hal apapun termasuk pertanggung jawaban yang harus saya lakukan meskipun Regina masih ragu akan hal itu.

Hari itu, Regina seperti biasa membawa nampan berisi kopi panas yang selalu saya minum. Dengan perutnya yang nampak membesar, Regina nampak sedikit kesusahan.

“Pak ini kopinya.”

“Regina, saya kan sudah bilang sama kamu. Memangnya saya setua itu yah?”

Regina kaget, jelas. Permintaan itu sepertinya cukup membuat Regina berpikir bahwa saya ini adalah manusia yang aneh. Tapi saya juga tidak main-main soal itu. Saya hanya ingin kita menjadi dekat. Tanpa embel-embel atasan dan bawahan.

“Saya belum terbiasa, mas.”

Kata yang terakhir Regina ucapkan itu berhasil menarik kedua ujung bibir saya. Setelah Regina menarik nampan kosong, saya mengajak Regina untuk duduk di atas sofa. Bermaksud menanyakan kepastian soal ajakan yang sudah saya tawarkan.

“Saya takut merepotkan.”

Lagi dan lagi, padahal saya tidak pernah merasa direpotkan. Justru sebaliknya, saya yang lebih sering merepotkan Regina. Entah dalam hal pekerjaan atau dalam hal yang sifatnya pribadi.

“Regina, saya gak pernah merasa terbebani.”

Meskipun ada sedikit keraguan yang tercetak jelas di raut wajah Regina. Namun anggukan pelan yang Regina berikan membuat hati saya sedikit lebih lega. Setidaknya, saya akan lebih mudah memberikan semua hal baik yang dibutuhkan oleh Regina dan anak kita.

Iya, anak kita.

Refleks, saya menarik lengan Regina dan menggenggamnya erat. Mengucapkan banyak terimakasih pun tidak saya lupakan.

“Regina.”

Ah, terlalu candu untuk memanggil namanya seperti itu.

“Iya mas?”

Jantung saya, tidak tahan.

“Saya izin untuk mendekati kamu, boleh?”

©Pchss_

“Gue hamil.”

Hal yang seharusnya tidak membuat Adimas merasa terkejut namun nampaknya malah membuatnya terkejut berlipat-lipat ganda.

“Gimana?”

Sekali lagi, Regina menelan ludahnya kasar sambil menatap ke luar jendela mobil yang tengah dikemudikan oleh Adimas. Jemari Regina perlahan membuat jendela kaca mobil Adimas merendah, mencari oksigen supaya rasa sesak di dadanya berkurang.

“Regina?”

Wanita itu kembali menaikkan jendela kaca mobil. “Gue hamil, Adimas.”

Mobil Adimas mendadak berhenti, membuat kening Regina hampir mencium dashboard mobil serta kendaraan lain di belakangnya yang hampir menabrak mobil Adimas.

“NYETIR YANG BENER GOBLOG!” teriak salah satu pengguna jalan raya.

Dengan pemikiran yang sedikit rumit Adimas kembali melajukan mobilnya. Tangan dan sekujur tubuh pria itu menegang. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Adimas sebelum akhirnya pria itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

“Keluar.”

“Hah?”

Regina tidak pernah menyangka bahwa hal seperti ini yang akan dia dapatkan. Dia pikir Adimas akan merangkulnya, mencari jalan keluar bersama-sama, seharusnya seperti itu.

“Keluar.”

“Adim—”

“GUE BILANG KELUAR! BUDEG YA LO?!”

Dengan langkah terburu-buru Regina keluar dari dalam mobil Adimas. Menutup pintu mobil itu dengan keras. Sakit, orang yang dia harapkan sebagai malaikat penolong nyatanya tidak seperti itu.

Memang tidak pernah ada jaminan kalau menaruh harapan pada manusia. Bodohnya Regina masih melakukan hal itu.

Duduk di atas trotoar seraya berharap mobil Adimas kembali dan membawanya pulang dengan nyaman.

Nyatanya, tidak seperti itu.

___

©Pchss_

Langkah kaki Jarell terhenti begitu indera penciumannya mendapati harum tumisan sebuah masakan. Suara benturan spatula dengan wajan yang menghampiri telinganya membawa langkah kaki Jarell ke arah sumber suara dan harum tersebut.

Kedua sudut bibirnya tertarik mendapati sosok wanita yang tengah memasak di dapur itu.

“Eh, udah pulang?” tanya Alea saat menyadari kehadiran suaminya.

Jarell melepas jas yang ia kenakan dan menyimpannya ke atas meja makan, melonggarkan dasinya kemudian membuka dua kancing teratas kemejanya.

Cup.

Alea tiba-tiba terdiam saat benda lunak itu menyentuh tengkuknya yang terbuka bebas karena malam itu Alea menggulung seluruh rambutnya menjadi satu.

“Kak?!”

Kekehan pelan terdengar jelas di telinga kanan Alea. Lagi, pria itu mengecup pelan tengkuk Alea sambil melingkarkan lengannya di perut wanitanya dan terakhir mengecup bahu kanannya.

“Bisa diem dulu gak?”

“Enggak.”

Alea mengerucut pelan, “kak, aku lagi masak loh?”

“Ya udah, masak aja. Aku liatin.”

“Gak bisa gerak tau, nanti kalo gak selesai-selesai gimana?”

“Gak masalah, lagian aku maunya makan yang lain.”

Mendengar hal itu, Alea langsung menolehkan kepalanya. Terlebih, ada sesuatu yang membuat Alea berpikir bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. “Yang bener aja deh kak!”

Jarell tertawa pelan dengan suara rendahnya. Pria itu kemudian mematikan kompor dan menarik tubuh Alea agar menjauh dari sana. Kini keduanya saling berpandangan, menghantarkan rasa sayang lewat tatapan masing-masing. Seolah mereka akan kehilangan satu sama lain di esok hari.

I'm so lucky to have you, Alea.

Alea tersenyum pelan, kedua lengannya ia kalungkan ke leher si Pria. “Me, too.

Can i?” tanya pria itu.

Sure, go ahead.

Jarell tersenyum puas mendengar jawaban Alea. Lantas pria itu kemudian mengecup pelan kedua kelopak mata Alea berlanjut ke hidung dan berakhir di bibir ranumnya. Candu, manis, beribu kali Jarell merasakan benda lunak itu rasanya tetap sama.

Lengan yang sejak awal hanya berdiam diri di pinggang Alea kini naik menuju rahang wanita itu, mengelusnya pelan kemudian kemudian berlanjut ke bahunya dan menarik ke bawah gaun tidur satin berwarna peach itu sampai akhirnya tanggal, tergeletak tak berdaya di atas lantai dapur.

“Cantik,” ucap Jarell setelah tautan keduanya terlepas.

“Wangi, wangi peach, I like it,” ujar Jarell setelah mengendus pelan ke tengkuk Alea.

“Sshhh...”

Desis pelan yang keluar dari mulut wanitanya itu sontak menginterupsi aktivitas Jarell. Ia lupa suatu hal, bahwa mencium leher Alea adalah kesalahan yang fatal, mengingat sebuah tragedi yang membuat Alea cukup merasa 'sedikit' trauma.

I'm sorry sweetheart, my bad,” ucap Jarell kemudian mencium kening Alea cukup lama.

“Kak?”

Yes sweetheart?”

“Gapapa, lanjut aja.”

Kening Jarell berkerut, “tapi kan—”

It's okay, aku udah lupain kejadian itu,” sanggah Alea.

Jarell kembali mengecup bibir ranum wanitanya, menekan tengkuk Alea perlahan agar tautan mereka semakin dalam.

Give me your safe word, first.

Alea terdiam, berpikir kira-kira kata apa yang akan dia gunakan untuk malam yang panjang ini.

“Peach.”

Jarell tersenyum kemudian menggendong tubuh Alea dan membawanya ke area kamar. Meninggalkan masakan yang belum selesai dan gaun tidur Alea yang masih tergeletak di atas lantai dapur.

Ia letakkan tubuh Alea secara perlahan ke atas ranjang, seolah tubuh istrinya itu sangat rapuh. Dikecupnya lagi kedua kelopak mata Alea, dan berakhir dengan saling melumat bibir satu sama lain. Menyalurkan sebuah rasa yang semakin hari kian membumbung tinggi.

Lengan Alea tak hanya diam, ia menanggalkan seluruh kemeja Jarell hingga half-naked. Mengelus permukaan tak rata pada bagian perutnya dan berakhir pada bagian selatan pria itu dengan sedikit meremasnya.

“Hey?” panggil Jarell yang cukup terkejut dengan aksi wanitanya. Alea tertawa pelan namun hal itu tidak membuat kegiatan mereka terhenti. Jarell menang atas seluruh tubuh wanitanya yang kini kehilangan semua perca yang menempel di kulitnya.

Seluruh tubuh bagian atas wanitanya itu telah habis dijamah. Dikecup, dijilat, bahkan diisap sampai menimbulkan bekas kemerahan.

“Ngghh, kakh Jarell.”

Jarell tersenyum penuh kemenangan saat bagian selatan wanitanya berhasil dia kuasai, “yes, sweetheart. Say it louder.

“Kak, plishh nghh.”

Satu jarinya berhasil menyogak bagian selatan wanita itu. Membuat sang pujaan hati melengguh memanggil nama Jarell dengan lantang.

Fasterh kak.”

“Kayak gini?” tanya pria itu sambil mempercepat jarinya.

“Kak, mau ahhh-”

Cum for me sweetheart, come on.

Jemarinya meremas seprai, matanya tertutup rapat sementara mulutnya melantangkan nama sang tuan diakhiri lengguhan.

Yes, sweetheart like that.

Masih dengan nafas yang terengah-engah Jarell kembali mengecup seluruh permukaan wajah Alea sambil sesekali jemarinya mengelus dan meremas dadanya.

“Cantik,” ucap Jarell sebelum menanggalkan perca terakhir yang masih melekat di tubuhnya.

“Ngghh,” Alea kembali melengguh kala Jarell malah mempermainkannya.

“Masukin.”

“Gimana?” tanya Jarell masih dengan mempermainkan Alea dengan menggesek pelan kedua kepemilikannya.

Just fuck me right now!

Lagi, Jarell terkejut karena Alea tidak seperti biasanya. Malam ini nampak lebih berani.

Sweetheart, I was trying to go slow.

Sure, do what you want, Kak.”

Lengguhan pelan dari keduanya terdengar mengiri menyatunya kepemilikan mereka. Sesak, rasanya sangat sesak.

“Aku nyakitin kamu gak?” tanya pria itu, memastikan agar wanitanya merasa nyaman dan tidak merasa tertuntut.

No, feel so fine.”

Jarell kembali melumat bibir ranum itu sambil perlahan menggerakan kepemilikannya di bawah sana. Bukan hanya Alea yang merasa sesak, Jarell pun begitu.

“Al nghhh.”

Fuck! Sshhh kak!” pekik Alea saat Jarell mempercepat temponya. Cepat, sampai terdengar suara decitan.

Please—ah.”

My name, say it.

“Jarellhh, ahhh.”

Yes, sweetheart.

Butuh waktu yang tak lama bagi Alea untuk kembali mendapatkan pelepasannya, namun tidak bagi Jarell. Pria itu belum mencapai puncaknya. Maka dari itu Jarell membawa Alea untuk berganti posisi. Mendudukkan wanitanya di atas tubuhnya seraya menyatukan kembali tautan yang sempat terputus itu.

“Kayak gini, jauh lebih cantik.”

“Kalo enggak gini gak cantik?”

“Cantik, selalu cantik.”

Alea mencondongkan tubuhnya untuk mengecup rahang dan menggesap leher Jarell. Sesekali tangannya bergerak nakal untuk mengelus bagian tak rata pada perut suaminya itu.

“Sshhh, ride me sweetheart.

Sure.

Alea meletakkan kedua lengannya di atas bahu Jarell sebagai tumpuan. Perlahan ia membawa tubuhnya naik kemudian turun lebih rendah dengan tempo pelan, lalu lebih cepat setiap detiknya.

“Oh God—”

Yes, sweetheart like that—mmhhh.”

“Hnggg— I can't.”

Erangan rendah terdengar begitu jelas di telinga Alea saat wanita itu meletakkan kepalanya di bahu Jarell. Jarell pun membantu wanitanya agar mereka segera mendapat puncaknya.

Berkat bantuan Jarell itu membuat sebuah simpul imajiner di bagian bawah tubuhnya semakin mengetat. Alea makin merapatkan tubuhnya dengan tubuh Jarell. Dengan tempo yang semakin tak beraturan, Jarell mendekap erat demi menjaga keseimbangan keduanya. Hingga akhirnya sebuah gelombang euforia berhasil menghempas keduanya.

“Ahhh—”

Alea menyandarkan seluruh tubuhnya yang lelah pada dada bidang milik Jarell dengan bagian selatan mereka yang masih bertaut. Wangi feromon bercampur parfum maskulin menusuk indera penciuman Alea.

Kecupan pelan Jarell berikan pada puncak kepala Alea. Dengan keadaan seperti ini pun wangi Peach masih menjadi dominan dari pada yang lainnya.

Did I hurt you?” tanya pria itu dengan nafas yang masih tersenggal.

No.

Sound great, kalo gitu ayo lanjut.”

“KAK!”

***

©Pchss_

Langkah kaki Jarell terhenti begitu indera penciumannya mendapati harum tumisan sebuah masakan. Suara benturan spatula dengan wajan yang menghampiri telinganya membawa langkah kaki Jarell ke arah sumber suara dan harum tersebut.

Kedua sudut bibirnya tertarik mendapati sosok wanita yang tengah memasak di dapur itu.

“Eh, udah pulang?” tanya Alea saat menyadari kehadiran suaminya.

Jarell melepas jas yang ia kenakan dan menyimpannya ke atas meja makan, melonggarkan dasinya kemudian membuka dua kancing teratas kemejanya.

Cup.

Alea tiba-tiba terdiam saat benda lunak itu menyentuh tengkuknya yang terbuka bebas karena malam itu Alea menggulung seluruh rambutnya menjadi satu.

“Kak?!”

Kekehan pelan terdengar jelas di telinga kanan Alea. Lagi, pria itu mengecup pelan tengkuk Alea sambil melingkarkan lengannya di perut wanitanya dan terakhir mengecup bahu kanannya.

“Bisa diem dulu gak?”

“Enggak.”

Alea mengerucut pelan, “kak, aku lagi masak loh?”

“Ya udah, masak aja. Aku liatin.”

“Gak bisa gerak tau, nanti kalo gak selesai-selesai gimana?”

“Gak masalah, lagian aku maunya makan yang lain.”

Mendengar hal itu, Alea langsung menolehkan kepalanya. Terlebih, ada sesuatu yang membuat Alea berpikir bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. “Yang bener aja deh kak!”

Jarell tertawa pelan dengan suara rendahnya. Pria itu kemudian mematikan kompor dan menarik tubuh Alea agar menjauh dari sana. Kini keduanya saling berpandangan, menghantarkan rasa sayang lewat tatapan masing-masing. Seolah mereka akan kehilangan satu sama lain di esok hari.

I'm so lucky to have you, Alea.

Alea tersenyum pelan, kedua lengannya ia kalungkan ke leher si Pria. “Me, too.

Can i?” tanya pria itu.

Sure, go ahead.

Jarell tersenyum puas mendengar jawaban Alea. Lantas pria itu kemudian mengecup pelan kedua kelopak mata Alea berlanjut ke hidung dan berakhir di bibir ranumnya. Candu, manis, beribu kali Jarell merasakan benda lunak itu rasanya tetap sama.

Lengan yang sejak awal hanya berdiam diri di pinggang Alea kini naik menuju rahang wanita itu, mengelusnya pelan kemudian kemudian berlanjut ke bahunya dan menarik ke bawah gaun tidur satin berwarna peach itu sampai akhirnya tanggal, tergeletak tak berdaya di atas lantai dapur.

“Cantik,” ucap Jarell setelah tautan keduanya terlepas.

“Wangi, wangi peach, I like it,” ujar Jarell setelah mengendus pelan ke tengkuk Alea.

“Sshhh...”

Desis pelan yang keluar dari mulut wanitanya itu sontak menginterupsi aktivitas Jarell. Ia lupa suatu hal, bahwa mencium leher Alea adalah kesalahan yang fatal, mengingat sebuah tragedi yang membuat Alea cukup merasa 'sedikit' trauma.

I'm sorry sweetheart, my bad,” ucap Jarell kemudian mencium kening Alea cukup lama.

“Kak?”

Yes sweetheart?”

“Gapapa, lanjut aja.”

Kening Jarell berkerut, “tapi kan—”

It's okay, aku udah lupain kejadian itu,” sanggah Alea.

Jarell kembali mengecup bibir ranum wanitanya, menekan tengkuk Alea perlahan agar tautan mereka semakin dalam.

Give me your safe word, first.

Alea terdiam, berpikir kira-kira kata apa yang akan dia gunakan untuk malam yang panjang ini.

“Peach.”

Jarell tersenyum kemudian menggendong tubuh Alea dan membawanya ke area kamar. Meninggalkan masakan yang belum selesai dan gaun tidur Alea yang masih tergeletak di atas lantai dapur.

Ia letakkan tubuh Alea secara perlahan ke atas ranjang, seolah tubuh istrinya itu sangat rapuh. Dikecupnya lagi kedua kelopak mata Alea, dan berakhir dengan saling melumat bibir satu sama lain. Menyalurkan sebuah rasa yang semakin hari kian membumbung tinggi.

Lengan Alea tak hanya diam, ia menanggalkan seluruh kemeja Jarell hingga half-naked. Mengelus permukaan tak rata pada bagian perutnya dan berakhir pada bagian selatan pria itu dengan sedikit meremasnya.

“Hey?” panggil Jarell yang cukup terkejut dengan aksi wanitanya. Alea tertawa pelan namun hal itu tidak membuat kegiatan mereka terhenti. Jarell menang atas seluruh tubuh wanitanya yang kini kehilangan semua perca yang menempel di kulitnya.

Seluruh tubuh bagian atas wanitanya itu telah habis dijamah. Dikecup, dijilat, bahkan diisap sampai menimbulkan bekas kemerahan.

“Ngghh, kakh Jarell.”

Jarell tersenyum penuh kemenangan saat bagian selatan wanitanya berhasil dia kuasai, “yes, sweetheart. Say it louder.

“Kak, plishh nghh.”

Satu jarinya berhasil menyogak bagian selatan wanita itu. Membuat sang pujaan hati melengguh memanggil nama Jarell dengan lantang.

Fasterh kak.”

“Kayak gini?” tanya pria itu sambil mempercepat jarinya.

“Kak, mau ahhh-”

Cum for me sweetheart, come on.

Jemarinya meremas seprai, matanya tertutup rapat sementara mulutnya melantangkan nama sang tuan diakhiri lengguhan.

Yes, sweetheart like that.

Masih dengan nafas yang terengah-engah Jarell kembali mengecup seluruh permukaan wajah Alea sambil sesekali jemarinya mengelus dan meremas dadanya.

“Cantik,” ucap Jarell sebelum menanggalkan perca terakhir yang masih melekat di tubuhnya.

“Ngghh,” Alea kembali melengguh kala Jarell malah mempermainkannya.

“Masukin.”

“Gimana?” tanya Jarell masih dengan mempermainkan Alea dengan menggesek pelan kedua kepemilikannya.

Just fuck me right now!

Lagi, Jarell terkejut karena Alea tidak seperti biasanya. Malam ini nampak lebih berani.

Sweetheart, I was trying to go slow.

Sure, do what you want, Kak.”

Lengguhan pelan dari keduanya terdengar mengiri menyatunya kepemilikan mereka. Sesak, rasanya sangat sesak.

“Aku nyakitin kamu gak?” tanya pria itu, memastikan agar wanitanya merasa nyaman dan tidak merasa tertuntut.

No, feel so fine.”

Jarell kembali melumat bibir ranum itu sambil perlahan menggerakan kepemilikannya di bawah sana. Bukan hanya Alea yang merasa sesak, Jarell pun begitu.

“Al nghhh.”

Fuck! Sshhh kak!” pekik Alea saat Jarell mempercepat temponya. Cepat, sampai terdengar suara decitan.

Please—ah.”

My name, say it.

“Jarellhh, ahhh.”

Yes, sweetheart.

Butuh waktu yang tak lama bagi Alea untuk kembali mendapatkan pelepasannya, namun tidak bagi Jarell. Pria itu belum mencapai puncaknya. Maka dari itu Jarell membawa Alea untuk berganti posisi. Mendudukkan wanitanya di atas tubuhnya seraya menyatukan kembali tautan yang sempat terputus itu.

“Kayak gini, jauh lebih cantik.”

“Kalo enggak gini gak cantik?”

“Cantik, selalu cantik.”

Alea mencondongkan tubuhnya untuk mengecup rahang dan menggesap leher Jarell. Sesekali tangannya bergerak nakal untuk mengelus bagian tak rata pada perut suaminya itu.

“Sshhh, ride me sweetheart.

Sure.

Alea meletakkan kedua lengannya di atas bahu Jarell sebagai tumpuan. Perlahan ia membawa tubuhnya naik kemudian turun lebih rendah dengan tempo pelan, lalu lebih cepat setiap detiknya.

“Oh God—”

Yes, sweetheart like that—mmhhh.”

“Hnggg— I can't.”

Erangan rendah terdengar begitu jelas di telinga Alea saat wanita itu meletakkan kepalanya di bahu Jarell. Jarell pun membantu wanitanya agar mereka segera mendapat puncaknya.

Berkat bantuan Jarell itu membuat sebuah simpul imajiner di bagian bawah tubuhnya semakin mengetat. Alea makin merapatkan tubuhnya dengan tubuh Jarell. Dengan tempo yang semakin tak beraturan, Jarell mendekap erat demi menjaga keseimbangan keduanya. Hingga akhirnya sebuah gelombang euforia berhasil menghempas keduanya.

“Ahhh—”

Alea menyandarkan seluruh tubuhnya yang lelah pada dada bidang milik Jarell dengan bagian selatan mereka yang masih bertaut. Wangi feromon bercampur parfum maskulin menusuk indera penciuman Alea.

Kecupan pelan Jarell berikan pada puncak kepala Alea. Dengan keadaan seperti ini pun wangi Peach masih menjadi dominan dari pada yang lainnya.

Did I hurt you?” tanya pria itu dengan nafas yang masih tersenggal.

No.

Sound great, kalo gitu ayo lanjut.”

“KAK!”

***

©Pchss_

Begitu pintu kamar hotel yang ditempati Regina terbuka kening Evan nampak sedikit bertaut. Wajah Regina cukup pucat, di sekitar pelipisnya pun nampak keringat dingin sedikit menetes membasahi permukaan kulitnya. Evan kemudian membawa punggung tangannya menempel ke arah kening Regina. Cukup panas, dan itu bukan hal yang bagus.

“Pusing?”

Regina mengangguk pelan. Evan kemudian menarik tangan Regina untuk meletakkan kantung keresek berisi obat-obatan ke atas tangan wanita itu.

“Diminum yah.”

Wanita itu mengangguk pelan. Lengan Evan kembali terangkat kemudian mengusap pelan kepala Regina yang membuat si empunya terkejut tak menyangka mendapat perlakuan seperti itu.

“Cepet sembuh,” ujar Evan sambil menarik lengannya kembali.

Regina menarik kedua sudut bibirnya, “makasih, Pak.”

Kedua sudut Evan terangkat perlahan. Pintu kamar Regina kembali tertutup, lantas Evan kembali melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu. Tubuhnya berhenti begitu mendapati Adimas tengah berdiri tak jauh dari tempat Evan berpijak. Suasana canggung menguar menyelimuti kedua pria itu.

“Selamat malam, Pak.”

Evan mengangguk pelan sebelum akhirnya kembali melangkah dan benar-benar meninggalkan tempat itu. Sebelum beranjak, Evan sempat mendapati Adimas dengan dua kantung keresek yang digenggam erat di kedua lengannya.

'gue, gak lagi bikin kesalahan kan?' gumam Evan dalam hatinya.

'gue udah harus mulai mundur?' gumam Adimas dalam hatinya.

©Pchss_

“Udah gue bilang, dingin kan?”

Regina berdecak pelan, seharusnya dia mengikuti apa perkataan pria di sampingnya itu. Angin darat yang berhembus menerpa kulit Regina nampak berpihak pada sang rembulan. Dingin, namun sang puan tidak berkuasa melakukan apapun untuk menghentikan sang bayu.

Adimas lantas tidak tinggal diam menatap wanita di sampingnya ini mengusap berulang lengan atasnya. Jaket boomber berwarna navy lantas mendarat sempurna di bahu wanita itu.

“Eh, apaan nih?”

“Pake.”

Regina menatap wajah Adimas yang menatap lurus ke arah hamparan laut malam. Disertai deburan ombak, juga taburan bintang dan cahaya rembulan. Kedua insan itu duduk bersila di atas pasir pantai yang masih terasa hangat. Sedikit menjaga jarak dengan lautan supaya pakaian mereka tidak basah.

“Lo gak dingin?” tanya Regina.

Pria itu menggeleng pelan, “enggak. Enak kok sejuk.”

Bohong. Jelas anginnya terasa begitu menusuk.

“Kadang gue gak paham sama lo, Dim.”

Merasa namanya disebut, pria itu akhirnya menoleh. Kedua netra mereka kini beradu. Menciptakan geleyar aneh yang hanya menghampiri salah satunya.

“Apanya?”

Regina terdiam.

“Apa yang lo enggak paham dari gue?”

Pandangan wanita itu beralih, kini hanya Adimas yang menatap lekat ke arah Regina.

“Banyak, Dim.”

Setelah jawaban itu terlontar, Adimas kembali meluruskan kepalanya. Kembali menatap hamparan lautan yang nampak lebih menyeramkan ketika malam tiba.

“Lo baik.”

“Semua manusia harus bersikap baik, masa gitu aja gak tau.”

“Baiknya lo beda, Dim. Kenapa?”

Adimas menghela nafas pelan, “enggak ada alasan lain selain rasa simpati kok.”

Regina bukan wanita yang tidak paham akan hal kecil seperti itu. “Karena gue sama lo, beda?”

Kalimat tanya yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan itu nampak menusuk dada Adimas pelan.

Sudah, sudah Adimas coba untuk tidak bersikap melebihi batas. Namun semakin ia membentang sebuah jarak, semakin tersiksa batinnya.

“Oke lupain, sorry bikin lo gak nyaman.”

Adimas masih terdiam. Namun selanjutnya pria itu mengangkat tubuh Regina dan berjalan mendekat ke arah laut.

“DIM SUMPAH GUE NGAMUK KALO LO CEBURIN GUE KE LAUT.”

Tidak ada jawaban, hanya terdengar tawa Adimas yang menggelegar sekaligus menyebalkan.

Sudah.

Regina jatuh ke dalam air laut dan berakhir basah.

“HAHAHAHA!”

“SINI GAK LO?!”

Adimas berupaya meloloskan diri, namun siapa sangka bahwa Regina berhasil menarik kaos bagian belakang pria itu dan membuat Adimas terjatuh ke dalam air.

“SETAN!”

Kini tawa Regina yang terdengar memenuhi semesta. Berawal menghindari rasa dingin, malah berakhir dengan keadaan setengah basah.

Oh coba lihat, siapa sangka adegan yang barusan terjadi disaksikan oleh pihak ketiga yang menonton dari kejauhan?

©Pchss_

Satu kain terakhir berhasil masuk ke dalam koper. Regina menghela nafasnya pelan seraya menutup koper milik Evan. Jemari Regina menuntun benda persegi panjang tersebut ke sudut kamar. Kemudian langkah kakinya membawa keluar dari area kamar tidur milik Evan.

Himpunan nada yang bersatu membentuk melodi disertai suara emas sang penyanyi mengalun pelan memenuhi seluruh sudut rumah Evan.

What time you coming out? We started losing light. I'll never make it right. If you don't wander off. I'm so excited for the night

Falling for you milik The 1975

Regina tidak pernah tahu bahwa atasannya ini memiliki selera yang bagus dalam bermusik. Kiranya, Evan hanyalah seorang pebisnis kaku yang hanya mengerti soal bagaimana membangun perusahaan sehingga menghasilkan pundi-pundi rupiah demi memuaskan nafsu duniawi.

All we need's my bike and your enormous house. You said some day we might. When I'm closer to your height, Till then we'll knock around and see. If you're all I need

Wangi tumisan bawang menyeruak begitu Regina menginjakkan kaki di area dapur. Evan dan alat masak. Nampak bukan hal yang meyakinkan. Namun begitu netra Regina menatap kegiatan di hadapannya, secarik senyuman menguar dari bibir ranumnya.

“Oh, udah beres?”

Regina berhenti tepat di samping Evan yang masih terfokus pada kegiatannya kali ini.

Don't you see me I. I think I'm falling, I'm falling for you. And don't you need me I. I think I'm falling, I'm falling for you. On this night, and in this light. I think I'm falling (I think I'm falling), I'm falling for you. And maybe you, change your mind. (I think I'm falling, I think I'm falling)

Lagu itu, masih mengalun seiring dengan suara tumisan dari masakan Evan. Wangi, dan nampak menjanjikan. Membuat masyarakat di perut Regina meraung meminta agar segera diberikan sebuah persembahan.

“Kamu tunggu disana aja.”

“Mau disini aja, pemandangan yang langka soalnya.”

Evan terkekeh pelan.

I'm caught on your coat again. You said, “Oh no, it's fine”. I read between the lines and touched your leg again (again). I'll take it one day at a time. Soon you will be mine, oh, but I want you now (I want you now). When the smoke is in your eyes, you look so alive. Do you fancy sitting down with me maybe. 'Cause you're all I need

Tanpa merasa terganggu, Evan masih dalam posisinya. Menumis beberapa sayuran serta menabur beberapa rempah dan bumbu dapur.

“Saya jadi gugup.”

Kedua alis Regina bertaut, “kenapa?”

“Enggak biasa.”

Evan yang selalu terlihat gagah dan bijaksana di hadapan para karyawan dan klien perusahaannya kini menjadi Evan yang malu-malu di hadapan satu orang saja. Rasanya seperti dua kutub yang saling bertolak belakang, namun tidak menutup sikap lembut dan manis dari pria itu.

Jemari pria itu menarik sebuah sendok dan mengambil sedikit kuah dari masakannya untuk dicicipi. Enak, kiranya. Lantas ia mengambil satu sendok lagi dan mengulangi kegiatannya beberapa sekon yang lalu. Menyodorkan sendok berisi kuah tersebut ke arah Regina.

“Cobain.”

Wanita itu mendekat, meniup pelan kuahnya agar sedikit sejuk. Namun perhitungannya salah, sendoknya masih panas dan mengenai ujung bibirnya.

Dengan segera Evan meletakkan sendok tersebut ke sembarang arah kemudian meniup kecil ke arah bibir Regina sesekali mengusap permukaan benda kenyal itu pelan.

According to your heart. My place is not deliberate. Feeling of your arms. I don't want to be your friend, I want to kiss your neck

“Maaf yah, harusnya saya dinginkan dulu,” ujarnya tanpa menghentikan kegiatannya.

Sementara sang Tuan berusaha mengobati, sang Puan terdiam menatap perlakuan sang Tuan. Netranya tak henti menatap ke arah sang Tuan seraya berusaha menetralisir degub jantung yang berpacu seolah ia akan kehilangan kesempatan berdegub lagi.

“Udah gak perih kan?”

Don't you see me I. I think. I'm falling, I'm falling for you. And don't you need me I. I think I'm falling, I'm falling for you

Netra keduanya kini saling mengadu, mengisyaratkan sebuah rasa tak berbentuk yang melingkup memeluk keduanya.

“Oh, sorry my bad.”

Lantas sang Tuan menarik perlahan lengannya bersamaan dengan sang Puan yang menepis pelan raganya agar ia tidak menatap netra legam milik sang Tuan.

On this night, and in this light. I think I'm falling (I think I'm falling), I'm falling for you. And maybe you, change your mind

©Pchss_

Satu kain terakhir berhasil masuk ke dalam koper. Regina menghela nafasnya pelan seraya menutup koper milik Evan. Jemari Regina menuntun benda persegi panjang tersebut ke sudut kamar. Kemudian langkah kakinya membawa keluar dari area kamar tidur milik Evan.

Himpunan nada yang bersatu membentuk melodi disertai suara emas sang penyanyi mengalun pelan memenuhi seluruh sudut rumah Evan.

What time you coming out? We started losing light. I'll never make it right. If you don't wander off. I'm so excited for the night

Falling for you milik The 1975

Regina tidak pernah tahu bahwa atasannya ini memiliki selera yang bagus dalam bermusik. Kiranya, Evan hanyalah seorang pebisnis kaku yang hanya mengerti soal bagaimana membangun perusahaan sehingga menghasilkan pundi-pundi rupiah demi memuaskan nafsu duniawi.

All we need's my bike and your enormous house. You said some day we might. When I'm closer to your height, Till then we'll knock around and see. If you're all I need

Wangi tumisan bawang menyeruak begitu Regina menginjakkan kaki di area dapur. Evan dan alat masak. Nampak bukan hal yang meyakinkan. Namun begitu netra Regina menatap kegiatan di hadapannya, secarik senyuman menguar dari bibir ranumnya.

“Oh, udah beres?”

Regina berhenti tepat di samping Evan yang masih terfokus pada kegiatannya kali ini.

Don't you see me I. I think I'm falling, I'm falling for you. And don't you need me I. I think I'm falling, I'm falling for you. On this night, and in this light. I think I'm falling (I think I'm falling), I'm falling for you. And maybe you, change your mind. (I think I'm falling, I think I'm falling)

Lagu itu, masih mengalun seiring dengan suara tumisan dari masakan Evan. Wangi, dan nampak menjanjikan. Membuat masyarakat di perut Regina meraung meminta agar segera diberikan sebuah persembahan.

“Kamu tunggu disana aja.”

“Mau disini aja, pemandangan yang langka soalnya.”

Evan terkekeh pelan.

I'm caught on your coat again. You said, “Oh no, it's fine”. I read between the lines and touched your leg again (again). I'll take it one day at a time. Soon you will be mine, oh, but I want you now (I want you now). When the smoke is in your eyes, you look so alive. Do you fancy sitting down with me maybe. 'Cause you're all I need

Tanpa merasa terganggu, Evan masih dalam posisinya. Menumis beberapa sayuran serta menabur beberapa rempah dan bumbu dapur.

“Saya jadi gugup.”

Kedua alis Regina bertaut, “kenapa?”

“Enggak biasa.”

Evan yang selalu terlihat gagah dan bijaksana di hadapan para karyawan dan klien perusahaannya kini menjadi Evan yang malu-malu di hadapan satu orang saja. Rasanya seperti dua kutub yang saling bertolak belakang, namun tidak menutup sikap lembut dan manis dari pria itu.

Jemari pria itu menarik sebuah sendok dan mengambil sedikit kuah dari masakannya untuk dicicipi. Enak, kiranya. Lantas ia mengambil satu sendok lagi dan mengulangi kegiatannya beberapa sekon yang lalu. Menyodorkan sendok berisi kuah tersebut ke arah Regina.

“Cobain.”

Wanita itu mendekat, meniup pelan kuahnya agar sedikit sejuk. Namun perhitungannya salah, sendoknya masih panas dan mengenai ujung bibirnya.

Dengan segera Evan meletakkan sendok tersebut ke sembarang arah kemudian meniup kecil ke arah bibir Regina sesekali mengusap permukaan benda kenyal itu pelan.

According to your heart. My place is not deliberate. Feeling of your arms. I don't want to be your friend, I want to kiss your neck

“Maaf yah, harusnya saya dinginkan dulu,” ujarnya tanpa menghentikan kegiatannya.

Sementara sang Tuan berusaha mengobati, sang Puan terdiam menatap perlakuan sang Tuan. Netranya tak henti menatap ke arah sang Tuan seraya berusaha menetralisir degub jantung yang berpacu seolah ia akan kehilangan kesempatan berdegub lagi.

“Udah gak perih kan?”

Don't you see me I. I think. I'm falling, I'm falling for you. And don't you need me I. I think I'm falling, I'm falling for you

Netra keduanya kini saling mengadu, mengisyaratkan sebuah rasa tak berbentuk yang melingkup memeluk keduanya.

“Oh, sorry my bad.”

Lantas sang Tuan menarik perlahan lengannya bersamaan dengan sang Puan yang menepis pelan raganya agar ia tidak menatap netra legam milik sang Tuan.

On this night, and in this light. I think I'm falling (I think I'm falling), I'm falling for you. And maybe you, change your mind

©Pchss_

Gue, hidup?!

Sadena melirik ke seluruh sudut ruangan yang nampak tidak asing. Ruangan putih, dengan bau obat-obatan. Jelas, dirinya tengah berada di rumah sakit.

Namun hal yang membuatnya mengerutkan kening adalah, tubuhnya yang nampak berbeda dan tidak nyaman. Ia memperhatikan sepuluh jemarinya kemudian lengan dan kakinya.

“Aneh ba—”

Mata Sadena terbeliak saat ia merasa suaranya terdengar berbeda. Jauh lebih berat. Maka dari itu Sadena segera mendudukkan dirinya, kemudian mencari sesuatu yang dapat memperlihatkan wajahnya.

Kepalanya bergerak, lantas menemukan sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dari layarnya yang hitam Sadena mampu melihat pantulan wajahnya yang sontak membuat Sadena melempar ponsel itu.

“Ini, bukan gue.”

Untuk memastikan kebenarannya, Sadena kembali meraih ponsel itu. Layarnya menyala, namun masih terkunci.

29 November 2024

Tiga tahun semenjak kematian Sadena.

“Pake di pin segala.”

Sadena menggaruk kepalanya sambil berpikir pelan bagaimana dia bisa membuka ponsel tersebut. Ia kemudian kembali bertatapan ponsel tersebut, mencoba membukanya barang kali ponselnya menggunakan fitur face recognition.

Sayangnya hal itu tidak berhasil.

Sadena kemudian mencoba menempelkan jarinya di bagian sidik jari.

Dan yap!

Ponsel tersebut terbuka. Buru-buru Sadena membuka kamera dan benar saja. Jantungnya nampak berdetak lebih kencang dengan mulut yang menganga cukup lebar.

Arwahnya, terjebak dalam tubuh seorang anak SMA.

©Pchss_

Gue, hidup?!

Sadena melirik ke seluruh sudut ruangan yang nampak tidak asing. Ruangan putih, dengan bau obat-obatan. Jelas, dirinya tengah berada di rumah sakit.

Namun hal yang membuatnya mengerutkan kening adalah, tubuhnya yang nampak berbeda dan tidak nyaman. Ia memperhatikan sepuluh jemarinya kemudian lengan dan kakinya.

“Aneh ba—”

Mata Sadena terbeliak saat ia merasa suaranya terdengar berbeda. Jauh lebih berat. Maka dari itu Sadena segera mendudukkan dirinya, kemudian mencari sesuatu yang dapat memperlihatkan wajahnya.

Kepalanya bergerak, lantas menemukan sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dari layarnya yang hitam Sadena mampu melihat pantulan wajahnya yang sontak membuat Sadena melempar ponsel itu.

“Ini, bukan gue.”

Untuk memastikan kebenarannya, Sadena kembali meraih ponsel itu. Layarnya menyala, namun masih terkunci.

29 November 2024

Tiga tahun semenjak kematian Sadena.

“Pake di pin segala.”

Sadena menggaruk kepalanya sambil berpikir pelan bagaimana dia bisa membuka ponsel tersebut. Ia kemudian kembali bertatapan ponsel tersebut, mencoba membukanya barang kali ponselnya menggunakan fitur face recognition.

Sayangnya hal itu tidak berhasil.

Sadena kemudian mencoba menempelkan jarinya di bagian sidik jari.

Dan yap!

Ponsel tersebut terbuka. Buru-buru Sadena membuka kamera dan benar saja. Jantungnya nampak berdetak lebih kencang dengan mulut yang menganga cukup lebar.

Arwahnya, terjebak dalam tubuh seorang anak SMA.

©Pchss_