Pchss

Waktu itu gue berusia sekitar tujuh tahun. Gue yang enggak ngerti apa-apa tiba-tiba diajak ibu gue buat pindah rumah. Katanya, rumah yang ditinggal mendiang ayah gue udah enggak layak huni. Memang sih, atapnya sering bocor, toiletnya mampet, temboknya berlumut, dan masih banyak lagi.

Gue yang masih polos ngerasa seneng-seneng aja karena mau pindah ke rumah yang lebih bagus, lebih layak huni. Ibu bilang disana nanti gue bisa main boneka yang bagus-bagus, makan yang enak, sama pakai baju yang cantik.

Tapi ternyata kita enggak cuman tinggal berdua. Ada satu laki-laki seusia ibu yang nyambut gue pake pelukan hangat waktu itu. Dia meluk gue erat banget, terus ngelus rambut gue penuh kasih sayang. Dia juga minta gue buat manggil dia dengan sebutan 'Papa'. Sejak itu gue akhirnya sadar kalo ternyata ibu gue udah nikah lagi dengan orang yang sekarang gue panggil Papa.

Enggak sampe disitu. Dibelakang Papa ada anak laki-laki, usianya sekitar tiga atau empat tahun lebih tua dari gue. Gue enggak tau tapi kalau dilihat lagi tinggi tubuhnya lebih besar dari gue. Papa narik tangan gue dan anak cowok itu buat duduk sama-sama di atas sofa. Kemudian papa saling menyebutkan nama kami masing-masing.

Namanya Hasta.

Hasta Anggara Putra.

Raut wajahnya enggak pernah bersahabat sejak gue menginjakkan kaki di rumah itu. Setelah papa memperkenalkan kami, dia pergi gitu aja. Enggak jarang Hasta melakukan hal yang mencelakai gue bahkan hampir bikin gue pergi dari dunia ini.

Gue pernah didorong dari atas sepeda sampe jatoh dan tangan gue retak, Hasta juga pernah ninggalin gue ber jam-jam di mall sendirian waktu usia gue menginjak kelas enam SD dan dia kelas satu SMA, hal yang paling gue inget adalah waktu Hasta sengaja dorong gue ke kolam renang dewasa dan gue hampir meninggal waktu itu.

Hasta cemburu, dia enggak bisa nerima gue dan Ibu gue di hidup dia. Apalagi sikap Papa yang kelihatan lebih sayang sama gue dibanding Hasta yang anak kandungnya sendiri. Hasta juga berpikir kalau Ibu gue yang menyebabkan Ibunya Hasta pergi.

Sejak kelas dua SMA Hasta makin hilang kendali. Istilahnya, Hasta jadi anak bandel. Papa juga udah enggak sanggup buat nasehatin Hasta. Dan sejak dia kuliah, Hasta merantau. Dia pilih universitas yang jauh dari rumah karena dia merasa jijik kalau harus satu atap dengan gue dan ibu gue.

Gue sendiri awalnya menyayangkan kenapa Hasta bisa sampe punya pikiran kayak gitu ke gue. Tapi lama kelamaan Hasta bikin gue muak.

Gue dan Hasta sama sama ninggalin rumah papa. Setelah gue lulus kuliah lebih tepatnya. Gue kerja di perusahaan milik mas Evan, dan gue kaget kalo ternyata Hasta kerja di tempat itu juga.

Gue sama Hasta enggak pernah saling sapa kecuali soal kerjaan. Mukanya masih suka ketus tiap liat gue. Gue sama Hasta kayak orang yang enggak pernah kenal sama sekali.

Waktu gue denger Hasta deket sama Keysha jujur disitu gue kaget sekaligus cemas. Gue takut Hasta ngedeketin Keysha terus dia nyakitin temen gue cuman karena dia benci sama gue. Gue takut, tapi ternyata pemikiran gue lagi-lagi salah.

©Pchss_

“Asem,” ujar Evan setelah memasukan satu potongan mangga muda ke dalam mulutnya. Regina sampai terkekeh kala melihat raut wajah Evan yang tengah menahan rasa asam itu.

“Namanya mangga muda pasti asem, Mas.”

“Iya sih, tapi lama-lama enggak kok. Seger, mau gak?”

Regina menggeleng pelan, tapi Evan tetap kekeh. Pria itu mengambil sepotong mangga muda lain kemudian dia sodorkan pada Regina.

“Ayo cobain, biar anaknya ngerasain langsung.”

Regina memakan potongan mangga itu. Regina tidak yakin tapi sepertinya ini bukan kali pertama Evan menyuapinya.

“Asem sih tapi seger.”

“Iya kan?” tanya Evan kembali mencari pembenaran.

“Regina, makasih yah.”

Kembali memperhatikan pria itu, “kenapa harus bilang makasih? Aku yang harusnya bilang makasih sama kamu mas. Kamu jagain aku, ngurus aku, banyak pokoknya. Aku ngerepotin kamu banget.”

“Saya kan sering bilang kalo saya gak pernah ngerasa di repotin sama sekali.” Regina menarik kedua sudut bibirnya.

“Pulang yuk, aku gak ada yang mau dibeli lagi kok,” ajak Regina. Evan kemudian menggenggam tangan Regina sampai ke mobil. Fyi, mereka makan langsung mangganya di tempat penjual buah yang kebetulan membuka lapak kalau-kalau pelanggan mereka ingin makan di tempat seperti Regina dan Evan.

“Kebiasaan lupa pake sabuk pengaman,” ucap Evan sambil memasangkan sabuk pengaman pada Regina.

“Abis engap mas.”

“Safety first Regina. Saya gak mau ada kejadian jelek nimpa kamu sama anak kita.”

Mobil Evan kini resmi meninggalkan posisinya menuju kembali ke rumah. Selama di perjalanan tidak ada percakapan yang begitu penting terjalin diantara keduanya.

Evan terdiam, begitu juga dengan Regina saat mobil mereka belum masuk ke area rumah dengan sempurna. Keduanya tidak mampu berkata kala seorang pria berdiri dengan terkejut begitu mendapati Evan dan Regina ada di hadapannya.

Bunga yang pria itu pegang pun kehilangan genggamannya.

“Mas.”

©Pchss_

“Asem,” ujar Evan setelah memasukan satu potongan mangga muda ke dalam mulutnya. Regina sampai terkekeh kala melihat raut wajah Evan yang tengah menahan rasa asam itu.

“Namanya mangga muda pasti asem, Mas.”

“Iya sih, tapi lama-lama enggak kok. Seger, mau gak?”

Regina menggeleng pelan, tapi Evan tetap kekeh. Pria itu mengambil sepotong mangga muda lain kemudian dia sodorkan pada Regina.

“Ayo cobain, biar anaknya ngerasain langsung.”

Regina memakan potongan mangga itu. Regina tidak yakin tapi sepertinya ini bukan kali pertama Evan menyuapinya.

“Asem sih tapi seger.”

“Iya kan?” tanya Evan kembali mencari pembenaran.

“Regina, makasih yah.”

Kembali memperhatikan pria itu, “kenapa harus bilang makasih? Aku yang harusnya bilang makasih sama kamu mas. Kamu jagain aku, ngurus aku, banyak pokoknya. Aku ngerepotin kamu banget.”

“Saya kan sering bilang kalo saya gak pernah ngerasa di repotin sama sekali.” Regina menarik kedua sudut bibirnya.

“Pulang yuk, aku gak ada yang mau dibeli lagi kok,” ajak Regina. Evan kemudian menggenggam tangan Regina sampai ke mobil. Fyi, mereka makan langsung mangganya di tempat penjual buah yang kebetulan membuka lapak kalau-kalau pelanggan mereka ingin makan di tempat seperti Regina dan Evan.

“Kebiasaan lupa pake sabuk pengaman,” ucap Evan sambil memasangkan sabuk pengaman pada Regina.

“Abis engap mas.”

“Safety first Regina. Saya gak mau ada kejadian jelek nimpa kamu sama anak kita.”

Mobil Evan kini resmi meninggalkan posisinya menuju kembali ke rumah. Selama di perjalanan tidak ada percakapan yang begitu penting terjalin diantara keduanya.

Evan terdiam, begitu juga dengan Regina saat mobil mereka belum masuk ke area rumah dengan sempurna. Keduanya tidak mampu berkata kala seorang pria berdiri dengan terkejut begitu mendapati Evan dan Regina ada di hadapannya.

Bunga yang pria itu pegang pun kehilangan genggamannya.

“Mas.”

©Pchss_

Dari awal Azka mengirimnya pesan soal ciuman dengan alibi 'workout' itu sudah membuat Zea sedikit pusing. Mau dilarang tidak bisa, dibolehkan pun malah enak di Azka.

3:00 AM milik Finding hope mengalun lembut begitu Zea membuka pintu apartemennya. Nampak Azka tersenyum pelan dari balik pintu.

Langkah kaki lelaki itu membawanya masuk ke dalam apartemen Zea. Wangi parfum Jo Malone varian Blackberry & Bay yang bercampur dengan feromon lelaki itu menyeruak menusuk indera penciuman Zea begitu Azka mendekap erat tubuh Zea yang nampak lebih mungil dibanding lelaki itu.

“Kenapa sih? Masih pagi.”

Tanpa melepaskan Zea dari dalam dekapan Azka, lelaki itu berdeham pelan sebelum akhirnya menjawab, “mau ngajak kamu workout kan.”

Helaan pelan keluar dari Zea yang mana hal itu membuat dekapan Azka melonggar dan pada akhirnya terlepas. Lelaki itu menelisik ke arah wajah wanitanya, cantik meskipun Azka tau kalau Zea hanya mencuci muka dan sikat gigi. Belum mandi, tapi aroma tubuh Zea yang wangi secara alamiah menjadi candu sendiri bagi Azka.

“Workout atau ciuman?” tanya Zea.

“Sama aja,” balas Azka sambil melepas jaket varsity yang dia kenakan kemudian duduk di atas sofa.

Lelaki itu kembali menatap ke arah Zea yang masih berdiri di dekat pintu masuk apartemen. Menepuk pelan bagian sofa di sebelahnya yang tak berpenghuni pertanda titah agar Zea segera menyusul dan duduk di sampingnya.

“Tadi lagi beres-beres yah?” tanya Azka tanpa melepas pandangannya dari Zea yang kini beranjak dari posisi awalnya dan duduk di samping Azka. Sudah menjadi kebiasaan wanita itu ketika beres-beres unit apartemennya harus ditemani alunan lagu.

Tubuh wanita itu bersandar pada tempat yang dia klaim sebagai tempat paling nyaman sedunia setelah kasurnya. Dada Azka.

“Baru mau mulai, keburu kamu dateng. Kebiasaan banget emang kalo dateng suka tiba-tiba. Kan jadinya aku belum sempet beres-beres udah capek duluan,” ujar Zea.

Jemari Azka naik ke atas kepala Zea. Mengelusnya penuh kasih dan sayang dan sesekali mengecupnya. Wangi, Azka yakin kalau Zea baru saja keramas kemarin. Rambutnya wangi strawberry, dan Azka suka.

Kini ponsel Zea memutar lagu Like I'm gonna lose you milik Meghan Trainor dan John Legend. Salah satu lagu yang menjadi saksi resminya hubungan Azka dan Zea.

“Kamu hari ini gak kerja emang?” tanya Zea. Azka yang saat itu tengah sibuk menciumi puncak kepala Zea langsung berhenti.

“Kenapa? Gak suka aku disini?”

“Bukan gitu, kamu suka seenaknya kalo kerja. Mentang-mentang perusahaannya punya kamu. Jangan dibiasain deh.”

Azka terkekeh. Zea kalau sudah cerewet seperti ini dibanding menyeramkan malah menggemaskan.

“Iya.”

“Janji loh!”

Azka terkekeh, kemudian mengigit pelan pipi Zea yang sedikit chubby dengan gemas.

“AZKA!”

“Apa sayang?”

“Aku ngomong tuh di dengerin!” protes Zea.

“Ini di dengerin sayang, sini cium dulu.”

Zea menjauhkan tubuhnya dari Azka, “gak mau!”

Namun Azka tetaplah Azka. Dia menarik tubuh Zea kemudian membubuhkan banyak kecupan pada wajah Zea. Pipi, hidung, kelopak mata, dan kening sudah habis Azka kecupi. Pada awalnya Zea memang memberontak, namun akhirnya pasrah juga. Terlebih ketika Azka mengecup pelan bibir ranum Zea yang berakhir dengan sebuah lumatan.

Tidak menuntut. Azka melakukannya dengan penuh kehati-hatian dan rasa kasih sayang yang menggebu. Tidak perlu menuntut seperti pasangan kebanyakan, Azka enggan merasa Zea terbebani. Baginya kegiatan seperti ini harus menjadi simbiosis mutualisme. Tidak ada yang terbebani, saling menikmati. Sehingga tidak akan ada istilah dominan diantara keduanya.

“Manis.”

Zea melempar pandang. Berapa kali Azka merasakan benda itu rasanya tetap sama. Manis, candu baginya. Dan berapa kali Azka memuji Zea rasanya tetap sama. Ada euforia dalam perutnya yang tidak sanggup Zea tahan sehingga mengakibatkan semu merah dipipinya.

“Ini minta digigit banget deh,” ucap Azka sambil mencubit pelan pipi Zea.

“Ka jangan digigit sama dicubit terus!”

Azka tertawa pelan kemudian ia kembali mendekatkan tubuhnya dengan Zea dan mendaratkan bibirnya pada bibir milik Zea. Dikecup, dilumat, dan terakhir digigit gemas.

If ain't got you milik Alicia keys menjadi penutup kegiatan mereka yang sedikit panas pada pagi ini. Dengan wajah yang memerah dan rambut yang sedikit acak-acakan keduanya saling melempar pandang satu sama lain. Kedua sudut bibir mereka tertarik, menciptakan bulan sabit di wajah masing-masing. Indah, keduanya menjadi anugerah yang paling indah yang Tuhan berikan menurut pandangan masing-masing.

Selesai sudah workout yang mereka lakukan pada pagi ini dengan total kalori yang terbakar sebesar 6.4 kcal.

“I love you.”

Zea mengecup pelan pipi kanan Azka, “more than you.”

Titah untuk segera menjemput mimpi ternyata tidak langsung dikerjakan oleh Regina. Evan mengernyit pelan begitu ia kembali dari dapur dengan segelas air dan berhenti tepat di depan pintu kamar Regina.

Musik klasik memenuhi ruangan itu.

Evan melangkahkan kakinya untuk mengetuk pelan pintu kamar Regina. Tak lama, si pemilik kamar itu membuka pintu dan menyembulkan kepalanya dari sana.

“Kok belum tidur?”

Pintu kamar Regina terbuka lebar, “gak bisa tidur hehe.”

Evan menggeleng pelan, lelaki itu bersandar pada tepian kusen pintu kamar, “kenapa, hm?”

Regina terdiam, menatap wajah Evan di bawah sinar lampu remang-remang.

“Kok gak jawab?”

“Gak tau, anaknya gak bisa diem,” jawab Regina sambil mengusap pelan perutnya.

Evan terkekeh kemudian menarik Regina pelan masuk ke dalam kamar. Keduanya duduk di atas ranjang saling berhadapan.

“Saya gak yakin ini berhasil, tapi berdasarkan pengalaman salah satu teman saya kalo si bayi gak mau diem tandanya dia lagi pengen dimanja ayahnya.”

Regina mengusap pelan perutnya yang sebenernya tidak karuan. Bayinya benar-benar tidak bisa diam.

“Terus biar diem gimana?”

“Saya minta izin dulu buat sentuh perut kamu, boleh?”

Regina tersenyum, “boleh.”

“Sana tiduran, saya coba elus perutnya yah.”

Regina menurut, ia merebahkan tubuhnya kemudian ada Evan di sampingnya yang mengelus perut Regina penuh kelembutan sambil sesekali Evan mengajak si bayi mengobrol agar segera tidur dan tidak menyusahkan ibunya.

Perlahan, Regina merasakan kalau si bayi mulai tenang. Kedua sudut bibir Evan pun tertarik, membentuk bulan sabit yang jika dilihat dari posisi Regina seperti ini sangat indah. Evan sudah bilang kalau feeling dia soal bayi ini bagus. Persetan dengan ucapan Hasta tempo lalu.

“Udah tenang kan?” tanya Evan.

Regina mengangguk setuju, rasa kantuk pun mulai menyerangnya.

“Saya tinggal yah,” pamit Evan. Namun lengan lelaki itu ditahan oleh Regina. Yang mengakibatkan langkahnya pun ikut tertahan.

“Kenapa? Butuh sesuatu?”

Sejujurnya Regina terlalu gengsi untuk meminta hal ini pada Evan. Namun layaknya ibu hamil kebanyakan yang ingin dimanja ayah dari anak yang mereka kandung, pun kini Regina rasakan.

“Mas tidur disini aja boleh gak?”

Sedikit terkejut, Evan tidak pernah menyangka kalau Regina akan meminta hal seperti ini padanya.

“Kamu gak keberatan emang?”

Regina menggeleng pelan. “Maaf mas kalo ini bikin mas gak nyaman atau merasa terbebani. Tapi boleh gak mas tidur disini aja? Elus perut aku lebih lama lagi?”

Dengan awal yang ragu Evan mengangguk mengiyakan permintaan Regina. Pun Regina pada akhirnya menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang pada Evan, meskipun jauh dalam lubuk hatinya Regina tengah merutuki kebodohannya sendiri.

“Mas keberatan gak?”

“Enggak Regina, ayo tidur.”

Regina mengubah posisinya menjadi menyamping. Kemudian Evan memeluknya dari belakang sambil mengelus perut Regina pelan, mengikis seluruh jarak diantara keduanya.

“Selamat tidur, Regina.”.

©Pchss_

Halo, gue Adimas.

Jelek banget dah. Kayak mau ngevlog aja.

Ngomong-ngomong kalian tau kan soal Regina?

Gue minta maaf karena awal gue tau dia hamil gue malah nurunin dia di tengah jalan. Goblok emang. Aduh sorry kasar ya gue.

Kalo ditanya apa gue bahagia? Kenap harus gue gak bahagia sih?

Terus kalo ditanya tanggapan gue soal Regina sama Evan gimana? Ya gak gimana-gimana.

Gini loh. Gue sama Regina itu udah selesai, dalam urusan hati ya. Gue sama dia masih berteman baik. Ya meskipun kadang gue suka tiba-tiba cemburu kalo Regina ngomongin soal kebaikan yang dikasih Evan buat dia.

Tapi sisi lainnya, gue bersyukur. Seenggaknya bukan cowok brengsek yang ngehamilin Regina. Regina ada pada laki-laki yang tepat gue rasa. Gue juga merasa kalo Regina bahagia sama Evan. Seluruh kebutuhan dan keamanannya terpenuhi. Gue bersyukur, tapi kadang masih suka khawatir.

Regina gak tahan dingin, Regina gak suka jeruk, Regina juga gak bisa kalo kepanasan. Evan tau itu gak ya?

Ah udahlah, yang terpenting sekarang Regina bahagia aja. Udah itu lebih dari cukup biar gue mengikhlaskan dia juga gak sia-sia.

Gue gak bisa milih Regina, gue lebih milih Tuhan gue meskipun sebenernya kalo gue nekat ya bisa-bisa aja.

Ya Tuhan tolong maafkan hamba.

Ngomongin apa lagi yah?

Udah kayaknya cukup. Gue berdoa semoga Regina bahagia meskipun bukan gue yang bahagiain dia.

Dan semoga gue lebih cepat dipertemukan dengan kebahagiaan gue.

Doain ya.

Sekarang, gue udah mengikhlaskan Regina. Jangan sampe Evan nyakitin dia dan usaha gue buat lupain Regina sia-sia.

©Pchss_

Halo, gue Adimas.

Jelek banget dah. Kayak mau ngevlog aja.

Ngomong-ngomong kalian tau kan soal Regina?

Gue minta maaf karena awal gue tau dia hamil gue malah nurunin dia di tengah jalan. Goblok emang. Aduh sorry kasar ya gue.

Kalo ditanya apa gue bahagia? Kenap harus gue gak bahagia sih?

Terus kalo ditanya tanggapan gue soal Regina sama Evan gimana? Ya gak gimana-gimana.

Gini loh. Gue sama Regina itu udah selesai, dalam urusan hati ya. Gue sama dia masih berteman baik. Ya meskipun kadang gue suka tiba-tiba cemburu kalo Regina ngomongin soal kebaikan yang dikasih Evan buat dia.

Tapi sisi lainnya, gue bersyukur. Seenggaknya bukan cowok brengsek yang ngehamilin Regina. Regina ada pada laki-laki yang tepat gue rasa. Gue juga merasa kalo Regina bahagia sama Evan. Seluruh kebutuhan dan keamanannya terpenuhi. Gue bersyukur, tapi kadang masih suka khawatir.

Regina gak tahan dingin, Regina gak suka jeruk, Regina juga gak bisa kalo kepanasan. Evan tau itu gak ya?

Ah udahlah, yang terpenting sekarang Regina bahagia aja. Udah itu lebih dari cukup biar gue mengikhlaskan dia juga gak sia-sia.

Gue gak bisa milih Regina, gue lebih milih Tuhan gue meskipun sebenernya kalo gue nekat ya bisa-bisa aja.

Ya Tuhan tolong maafkan hamba.

Ngomongin apa lagi yah?

Udah kayaknya cukup. Gue berdoa semoga Regina bahagia meskipun bukan gue yang bahagiain dia.

Dan semoga gue lebih cepat dipertemukan dengan kebahagiaan gue.

Doain ya.

Sekarang, gue udah mengikhlaskan Regina. Jangan sampe Evan nyakitin dia dan usaha gue buat lupain Regina sia-sia.

©Pchss_

Gue gak pernah menyangka bakalan tinggal bareng sama pak Evan, ekhem maksudnya mas Evan kayak gini. Hal yang membuat gue yakin kalo tinggal bareng laki-laki ini adalah tentu soal keamanan. Gue juga memerlukan keamanan yang jelas.

Ngomong-ngomong, kalian penasaran gimana tanggapan orang-orang pas liat perut gue?

Jelas. Ada banyak orang di kantor yang memandang rendah karena gue hamil tanpa suami. Pun sebaliknya, ada yang memberi selamat dan doa agar gue dan anak gue lahir dengan selamat serta sehat sampai nanti anak ini lahir. Contohnya Keysha, Adimas, dan Kavi.

Gue juga enggak terlalu mendengar omongan orang-orang yang sifatnya negatif terhadap diri gue. Gue juga enggak menginginkan hal ini terjadi bukan?

“Ini kamarnya, udah saya bersihkan kok. Tapi kalo kamu gak nyaman bilang aja, masih ada dua kamar di lantai dua. Maaf yah saya gak bisa kasih kamu kamar di lantai atas, saya cuman takut ngeliat kamu naik turun tangga yang malah nantinya bikin kamu sama anak kita kenapa-kenapa.”

Sejak hari pertama gue bilang soal anak ini, mas Evan lebih sering manggil anak ini dengan sebutan 'anak kita'. Meskipun kedengarannya terlalu melampaui batas, tapi sebagian dari hati gue merasa hangat.

“Disini aja gapapa kok, ini udah lebih dari cukup.”

Mas Evan tersenyum, jujur. Manis. Gue kadang suka gak tahan terus oleng sendiri.

Belum lagi, di hari ketiga gue tinggal bareng sama dia, mas Evan malah mijitin gue. Haha boss mana yang mijitin karyawannya coba.

Eh tapi gue udah resmi berhenti kok. Sementara. Mas Evan bilang kalo nanti anak ini udah lahir terus umurnya agak gedean kalo gue mau balik kerja dia bakalan izinin kok.

Intinya, gue vakum kerja.

Oh iya balik lagi.

Waktu itu gue niatnya mau ngasih cemilan sama kopi buat temen kerjanya. Gue baru sadar kalo mas Evan sama sibuknya mau itu di kantor atau di rumah. Malah kayaknya di rumah lebih sibuk. Gak jarang gue liat lampu ruang kerjanya masih nyala kalo jam tiga pagi gue kebelet pipis.

“Regina, kaki kamu kok bengkak yah.”

Gue otomatis liat ke bawah, kalo dipikir-pikir iya juga.

Setelah mas Evan nyimpen nampan yang gue bawa, dia lepas kacamatanya terus bawa gue buat duduk di sofa. Dia narik kaki gue buat selonjoran di atas sofa. Mas Evan terus bawa minyak telon yang gue juga gak tau dia dapet dari mana.

“Waktu itu saya ke mini market terus beli ini. Enggak tau buat apa tapi sekarang kepake, hehe,” jawabnya sambil agak cengengesan. Agak TMI tapi cukup menjawab pertanyaan di benak gue.

“Maaf yah, saya izin pijatin kamu.”

Mas Evan balurin minyak telon nya ke kaki gue terus dia pijet, lembut banget tapi bikin kaki gue rada enakan.

“Mas padahal saya gapapa loh, jadi gak enak ngerepotin terus.”

Mas Evan cuman ketawa kecil tapi masih lanjut mijetin kaki gue. Sekarang gue tau, gimana rasanya jadi mendiang istri mas Evan. Gue yang statusnya masih ngambang aja dia memperlakukan gue dengan amat baik.

Selesai dipijat, mas Evan kemudian menyeruput kopi yang sempet gue bawa barusan.

“Udah berapa bulan yah, lima ada?”

“Empat lebih dua minggu, udah kerasa sih dia gerak-gerak gitu tapi sedikit banget.”

Senyum di wajah mas Evan mengembang lagi, yang mana hal itu bikin gue ikutan senyum. Nyaman rasanya berada di deket mas Evan kayak gini.

“Saya mau nyapa dia, mau elus perut kamu boleh?”

Gue ragu, tapi ujungnya gue iyain.

“Saya izin elus perut kamu yah.”

Ini yang bikin gue selalu oleng. Mas Evan kalo mau apa-apa selalu minta izin gue lebih dulu. Dia gak pernah seenaknya. Dia selalu mengutamakan kenyamanan gue. Dan itu cukup menjadi alasan untuk gue jatuh sama dia.

Mas Evan ngelus perut gue lembut banget. Ada rasa yang gak bisa gue deskripsikan pas mas Evan nyentuh perut gue dan ngajak ngobrol anak ini.

“Sehat terus ya nak,” ucap mas Evan sebelum dia menjauhkan tangannya dari perut gue.

Jujur, rasanya gue pengen nangis banget.

“Udah malem, sana istirahat.”

Gue ngangguk pelan tapi gak tau kenapa tiba-tiba rasanya pengen banget ditemenin tidurnya. Tapi ya gue juga tau diri, mas Evan lagi sibuk.

“Saya duluan ya.”

Mas Evan ngangguk, “iya. Mau saya antar?”

“Enggak usah, mas.”

“Regina, saya gak pernah nyesel soal malam itu. Makasih karena kamu udah ngasih saya kesempatan buat bahagiain kamu dan anak kita.”

Kedua ujung bibir gue otomatis terangkat, “saya yang harus makasih.”

“Saya tau ini kedengerannya agak aneh, tapi boleh saya bilang sesuatu sama kamu?”

Gue diem, nunggu kalimat yang bakalan dia kasih ke gue.

“Regina, saya nyaman sama kamu. Saya suka kalo ada di deket kamu. Saya boleh kan cinta sama kamu?”

Dan detik itu juga, gue yakin kalo gue jatuh pada tempat yang seharusnya.

©Pchss_

Gue gak pernah menyangka bakalan tinggal bareng sama pak Evan, ekhem maksudnya mas Evan kayak gini. Hal yang membuat gue yakin kalo tinggal bareng laki-laki ini adalah tentu soal keamanan. Gue juga memerlukan keamanan yang jelas.

Ngomong-ngomong, kalian penasaran gimana tanggapan orang-orang pas liat perut gue?

Jelas. Ada banyak orang di kantor yang memandang rendah karena gue hamil tanpa suami. Pun sebaliknya, ada yang memberi selamat dan doa agar gue dan anak gue lahir dengan selamat serta sehat sampai nanti anak ini lahir. Contohnya Keysha, Adimas, dan Kavi.

Gue juga enggak terlalu mendengar omongan orang-orang yang sifatnya negatif terhadap diri gue. Gue juga enggak menginginkan hal ini terjadi bukan?

“Ini kamarnya, udah saya bersihkan kok. Tapi kalo kamu gak nyaman bilang aja, masih ada dua kamar di lantai dua. Maaf yah saya gak bisa kasih kamu kamar di lantai atas, saya cuman takut ngeliat kamu naik turun tangga yang malah nantinya bikin kamu sama anak kita kenapa-kenapa.”

Sejak hari pertama gue bilang soal anak ini, mas Evan lebih sering manggil anak ini dengan sebutan 'anak kita'. Meskipun kedengarannya terlalu melampaui batas, tapi sebagian dari hati gue merasa hangat.

“Disini aja gapapa kok, ini udah lebih dari cukup.”

Mas Evan tersenyum, jujur. Manis. Gue kadang suka gak tahan terus oleng sendiri.

Belum lagi, di hari ketiga gue tinggal bareng sama dia, mas Evan malah mijitin gue. Haha boss mana yang mijitin karyawannya coba.

Eh tapi gue udah resmi berhenti kok. Sementara. Mas Evan bilang kalo nanti anak ini udah lahir terus umurnya agak gedean kalo gue mau balik kerja dia bakalan izinin kok.

Intinya, gue vakum kerja.

Oh iya balik lagi.

Waktu itu gue niatnya mau ngasih cemilan sama kopi buat temen kerjanya. Gue baru sadar kalo mas Evan sama sibuknya mau itu di kantor atau di rumah. Malah kayaknya di rumah lebih sibuk. Gak jarang gue liat lampu ruang kerjanya masih nyala kalo jam tiga pagi gue kebelet pipis.

“Regina, kaki kamu kok bengkak yah.”

Gue otomatis liat ke bawah, kalo dipikir-pikir iya juga.

Setelah mas Evan nyimpen nampan yang gue bawa, dia lepas kacamatanya terus bawa gue buat duduk di sofa. Dia narik kaki gue buat selonjoran di atas sofa. Mas Evan terus bawa minyak telon yang gue juga gak tau dia dapet dari mana.

“Waktu itu saya ke mini market terus beli ini. Enggak tau buat apa tapi sekarang kepake, hehe,” jawabnya sambil agak cengengesan. Agak TMI tapi cukup menjawab pertanyaan di benak gue.

“Maaf yah, saya izin pijatin kamu.”

Mas Evan balurin minyak telon nya ke kaki gue terus dia pijet, lembut banget tapi bikin kaki gue rada enakan.

“Mas padahal saya gapapa loh, jadi gak enak ngerepotin terus.”

Mas Evan cuman ketawa kecil tapi masih lanjut mijetin kaki gue. Sekarang gue tau, gimana rasanya jadi mendiang istri mas Evan. Gue yang statusnya masih ngambang aja dia memperlakukan gue dengan amat baik.

Selesai dipijat, mas Evan kemudian menyeruput kopi yang sempet gue bawa barusan.

“Udah berapa bulan yah, lima ada?”

“Empat lebih dua minggu, udah kerasa sih dia gerak-gerak gitu tapi sedikit banget.”

Senyum di wajah mas Evan mengembang lagi, yang mana hal itu bikin gue ikutan senyum. Nyaman rasanya berada di deket mas Evan kayak gini.

“Saya mau nyapa dia, mau elus perut kamu boleh?”

Gue ragu, tapi ujungnya gue iyain.

“Saya izin elus perut kamu yah.”

Ini yang bikin gue selalu oleng. Mas Evan kalo mau apa-apa selalu minta izin gue lebih dulu. Dia gak pernah seenaknya. Dia selalu mengutamakan kenyamanan gue. Dan itu cukup menjadi alasan untuk gue jatuh sama dia.

Mas Evan ngelus perut gue lembut banget. Ada rasa yang gak bisa gue deskripsikan pas mas Evan nyentuh perut gue dan ngajak ngobrol anak ini.

“Sehat terus ya nak,” ucap mas Evan sebelum dia menjauhkan tangannya dari perut gue.

Jujur, rasanya gue pengen nangis banget.

“Udah malem, sana istirahat.”

Gue ngangguk pelan tapi gak tau kenapa tiba-tiba rasanya pengen banget ditemenin tidurnya. Tapi ya gue juga tau diri, mas Evan lagi sibuk.

“Saya duluan ya.”

Mas Evan ngangguk, “iya. Mau saya antar?”

“Enggak usah, mas.”

“Regina, saya gak pernah nyesel soal malam itu. Makasih karena kamu udah ngasih saya kesempatan buat bahagiain kamu dan anak kita.”

Kedua ujung bibir gue otomatis terangkat, “saya yang harus makasih.”

“Saya tau ini kedengerannya agak aneh, tapi boleh saya bilang sesuatu sama kamu?”

Gue diem, nunggu kalimat yang bakalan dia kasih ke gue.

“Regina, saya nyaman sama kamu. Saya suka kalo ada di deket kamu. Saya boleh kan cinta sama kamu?”

Dan detik itu juga, gue yakin kalo gue jatuh pada tempat yang seharusnya.

©Pchss_

Saya bukannya hendak melupakan mendiang istri saya dan berpaling pada Regina. Hanya saya harus sedikit mengurangi perasaan pada mendiang istri saya untuk menghargai keberadaan Regina.

Regina, sudah lama sekali dia bekerja dengan saya.

Sejak awal saya bertemu dengannya, saya merasa tertarik. Bukan, bukan dalam artian saya menyukainya karena sebuah euforia dalam hati saya. Saya masih bersama mendiang istri saya pada waktu itu.

Saya sudah menduga kalau Regina sangat kompeten dalam pekerjaannya. Dan itu terbukti. Tidak ada masalah yang pernah dia ciptakan selama bekerja. Semuanya berjalan dengan lancar.

Saya sering memberinya hadiah sebagai bentuk reward atas pencapaiannya selama bekerja. Dan dia sangat pantas mendapatkannya.

Malam itu, ah saya sebenernya tidak mau membicarakan ini. Tapi saya sangat yakin soal anak itu. Feeling saya kuat, namun ingatan saya tidak sepenuhnya saya ingat.

Keputusan saya untuk membawa Regina tinggal bersama bukan semata-mata bertujuan untuk pendekatan yang saya lakukan. Saya serius soal anak itu, soal keselamatan Regina dan anak itu. Saya juga tidak pernah main-main dalam hal apapun termasuk pertanggung jawaban yang harus saya lakukan meskipun Regina masih ragu akan hal itu.

Hari itu, Regina seperti biasa membawa nampan berisi kopi panas yang selalu saya minum. Dengan perutnya yang nampak membesar, Regina nampak sedikit kesusahan.

“Pak ini kopinya.”

“Regina, saya kan sudah bilang sama kamu. Memangnya saya setua itu yah?”

Regina kaget, jelas. Permintaan itu sepertinya cukup membuat Regina berpikir bahwa saya ini adalah manusia yang aneh. Tapi saya juga tidak main-main soal itu. Saya hanya ingin kita menjadi dekat. Tanpa embel-embel atasan dan bawahan.

“Saya belum terbiasa, mas.”

Kata yang terakhir Regina ucapkan itu berhasil menarik kedua ujung bibir saya. Setelah Regina menarik nampan kosong, saya mengajak Regina untuk duduk di atas sofa. Bermaksud menanyakan kepastian soal ajakan yang sudah saya tawarkan.

“Saya takut merepotkan.”

Lagi dan lagi, padahal saya tidak pernah merasa direpotkan. Justru sebaliknya, saya yang lebih sering merepotkan Regina. Entah dalam hal pekerjaan atau dalam hal yang sifatnya pribadi.

“Regina, saya gak pernah merasa terbebani.”

Meskipun ada sedikit keraguan yang tercetak jelas di raut wajah Regina. Namun anggukan pelan yang Regina berikan membuat hati saya sedikit lebih lega. Setidaknya, saya akan lebih mudah memberikan semua hal baik yang dibutuhkan oleh Regina dan anak kita.

Iya, anak kita.

Refleks, saya menarik lengan Regina dan menggenggamnya erat. Mengucapkan banyak terimakasih pun tidak saya lupakan.

“Regina.”

Ah, terlalu candu untuk memanggil namanya seperti itu.

“Iya mas?”

Jantung saya, tidak tahan.

“Saya izin untuk mendekati kamu, boleh?”

©Pchss_