Pchss

Apa yang harus dilakukan seseorang saat datang ke acara pernikahan mantan?

Tentu, mengucap selamat.

Pun hal ini dilakukan oleh Cia. Didampingi oleh Dion, perempuan itu berjalan dengan anggun menuju pelaminan dengan niat memberi ucapan selamat pada kedua mempelai yang seharusnya berbahagia.

“Lo cantik banget!”

Bukannya si pengantin yang mendapat pujian, malah Cia yang mendapat pujian dari pengantin perempuannya. Layaknya dua orang teman yang sudah lama tidak berjumpa, Cia dan Zahra saling memeluk satu sama lain. Tidak lupa ia ucapkan selamat seperti apa yang memang dia rencanakan sejak awal.

“Lo yang paling cantik.”

“Bisa aja. Eh ini siapa?”

Dion tersenyum pelan pada Zahra kemudian tersenyum lebih kecut pada Ares yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya ke arah Cia.

“Calon suami Cia.”

Sedikit bingung, pasalnya tempo lalu yang mengaku sebagai calon suami Cia bukannya orang yang sekarang berdiri disamping perempuan itu.

“Ini yang bener kok,” ucap Cia sambil merangkul lengan Dion.

“Oalah, selamat yah. Cepet nyusul!”

Cia dan Dion tersenyum, kemudian Cia beralih pada Ares. Meraih lengan pria itu sambil melempar senyuman terbaik yang seharusnya membuat Ares merasa menyesal telah memilih perempuan lain.

“Selamat yah!”

Ares masih terdiam, tidak bereaksi apa-apa. Dingin menyelimuti telapak tangan Ares saat ia menyentuh perempuan itu.

Tidak perlu berlama-lama, Dion menarik pelan lengan Ares dan memisahkannya dengan lengan Cia. Senyumnya mengembang dengan maksud mengejek pelan.

“Kak, aku ke toilet dulu yah?” ucap Cia setelah selesai memberi selamat pada kedua mempelai.

“Saya tunggu disini yah?”

Cia mengangguk, kemudian beranjak ke arah sisi gedung untuk menemukan toilet. Tidak lama untuk ia menemukan ruangan itu. Lantas Cia segera menuntaskan urusannya di dalam toilet, tidak lupa merapihkan baju dan riasannya.

Langkah kaki Cia berhenti begitu menatap sosok lelaki yang berdiri sambil bersandar pada tembok.

“Ares, ngapain?”

Ares terinterupsi, lelaki itu kemudian melangkah lebih dekat ke arah Cia. Cia sendiri langsung mengedarkan pandangannya ke berbagai sudut, takutnya ada yang melihat dan berpikir yang tidak-tidak.

“Cia, maaf.”

Maaf.

Kata yang sebenarnya tidak bisa Cia terima untuk detik ini.

“Apanya yang mau dimaafin, Res?”

Ares membisu.

“Lo udah nikah sama Zahra, temen deket gue sendiri. Jadi udah gak ada urusan lagi sama gue ya, Res?” ucap Cia sambil berniat meninggalkan tempat itu.

Tapi langkahnya terhenti saat Ares dengan segera menahan lengan Cia.

“Gue sayang sama lo, tapi gue gak bisa tinggalin Zahra, Cia.”

Cia masih terdiam, lengannya masih ditangan oleh Ares namun pandangan matanya tak mau menatap barang sedetik pun pada Ares.

“Memang cowok tuh gak bisa cukup sama satu cewek yah, Res?” Ares terdiam, perlahan lengan Cia dia lepaskan.

“Gue masih baik, Res. Gue gak kasih tau Zahra apa yang pernah ada diantara kita.”

Lagi-lagi Ares hanya bisa membungkam mulutnya.

“Makasih, Res. Makasih udah bikin gue jadi perempuan yang merasa paling disayangi. Gue titip Zahra. Seenggaknya, lo gak bisa bersikap brengsek buat dia kan?”

Manik mata keduanya kini saling bertabrakan, saling menatap ke arah bola mata yang sama-sama menyimpan rasa sakit, kesal, amarah, dan,

Rindu.

“Selamat berbahagia, Ares.”

“Ini beneran bisa dipake buat cewek?” tanya Cia.

Dion berdeham pelan sambil mengeringkan wajahnya menggunakan handuk. “Coba aja, sama-sama sabun ini. Dari pada pake sabun mandi.”

Insiden colak-colek krim kue ternyata tidak berakhir pada Dion saja. Mario, Dika, bahkan Almira ikut cemong berkat kue ulang tahun Dion. Ketiganya sudah membersihkan diri lebih dulu, Mario dan Dika pun langsung ngacir ke kamar Dion setelah diberitahu bahwa Dion sempat membeli PlayStation keluaran terbaru. Sedangkan Almira, anak itu nampaknya kelelahan dan berakhir tidur di kamar tamu.

Dion menatap risih ke arah rambut Cia yang nampak menghalangi aktivitas perempuan itu saat mencuci wajahnya. Lantas Dion mengambil seluruh rambut Cia dan memegangnya sampai perempuan itu selesai.

“Ayo lanjut,” titah Dion saat perempuan itu malah terdiam sambil menatap Dion lewat pantulan cermin.

Buru-buru Cia membasuh wajahnya, kemudian mengeringkannya menggunakan handuk.

“Hey, makasih untuk hari ini.”

“Sama-sama kak, oh iya gue juga nyimpen hadiah. Hadiahnya di laci yang ada di kamar kak Dion.”

Dion sedikit berdecak, “kenapa repot-repot sih?”

“Birthday tanpa kado sama kue itu gak seru kak!”

Dion terkekeh pelan, kemudian lelaki itu meraih sesuatu di dalam saku celananya.

“Cia, maaf kalo kesannya jelek banget. Tapi saya enggak mau kehilangan kamu lebih jauh lagi.”

Sebuah cincin.

Iya, Dion melamar Cia pada hari ulang tahunnya.

“Kak? Kok malah gue yang dikasih kejutan?”

“Tangan saya pegal, Cia.”

Cia mengangguk pelan, kemudian senyum merekah di wajah keduanya. Dion mengambil lengan Cia untuk ia pasangkan cincin ke jari manisnya.

“Makasih, makasih banyak,” ujar Dion sambil menarik Cia ke dalam pelukannya sambil sesekali mengecup pelan pucuk kepalanya.

Cia juga ikut melingkarkan lengannya di tubuh Dion. Erat, sangat erat. Mau bagaimana pun juga, pelukan Dion menjadi tempat paling Cia sukai.

Dion sedikit memberi jarak pada keduanya, menatap netra Cia dalam-dalam. Degub jantung kedua manusia ini nampak saling bersahutan memanggil satu sama lain.

Kecupan manis mendarat sempurna di kening Cia, tidak ada protes dari perempuan itu. Kemudian Dion menurunkan kecupannya di hidung Cia, dan berakhir di bibir ranum perempuannya.

Mengesapnya perlahan tanpa tuntutan lebih. Tidak ada suara sejenis protes dari perempuannya, malah candunya itu melingkarkan lengannya di leher Dion.

Saat-saat seperti ini Cia malah teringat soal omongan Tigra yang ternyata benar adanya. Degub jantung Cia berdetak tak terkendali, pertanda bahwa kini dirinya telah jatuh sedalam-dalamnya pada sosok yang kini mengecup pelan rahangnya di beberapa tempat. Semakin turun ke bawah, harum buah persik menyeruak dari leher Cia.

Candu, hanya itu yang mampu Dion deskripsikan detik ini.

Lengan yang semula melingkar di leher Dion kini beralih, naik sedikit untuk sesekali meremas rambut demi melampiaskan perasaannya.

“I love you, I really do” bisik Dion tepat di samping telinga kanan Cia.

“Kak,” panggil Cia dengan suara rendahnya.

“Hm?”

Cia menyandarkan kepalanya di dada bidang yang nampaknya kini resmi menjadi kekasihnya. Degub jantung Dion nampak terdengar begitu keras, membuat senyuman kecil terukir manis di bibir Cia.

“Parfum kak Dion harum,” ucap Cia, semakin menghirup wangi lelaki itu.

“Nanti saya kasih parfumnya, mau?”

Anggukan pelan dari Cia menjadi jawaban dari pertanyaan Dion.

“Oke, nanti say—”

“AUDZUBILLAHIMINASYAITONIRAZIM!!! Allaahumma lakasumtu— EH ANJING KOK DOA BUKA PUASA”, teriak Dika.

“Ini beneran bisa dipake buat cewek?” tanya Cia.

Dion berdeham pelan sambil mengeringkan wajahnya menggunakan handuk. “Coba aja, sama-sama sabun ini. Dari pada pake sabun mandi.”

Insiden colak-colek krim kue ternyata tidak berakhir pada Dion saja. Mario, Dika, bahkan Almira ikut cemong berkat kue ulang tahun Dion. Ketiganya sudah membersihkan diri lebih dulu, Mario dan Dika pun langsung ngacir ke kamar Dion setelah diberitahu bahwa Dion sempat membeli PlayStation keluaran terbaru. Sedangkan Almira, anak itu nampaknya kelelahan dan berakhir tidur di kamar tamu.

Dion menatap risih ke arah rambut Cia yang nampak menghalangi aktivitas perempuan itu saat mencuci wajahnya. Lantas Dion mengambil seluruh rambut Cia dan memegangnya sampai perempuan itu selesai.

“Ayo lanjut,” titah Dion saat perempuan itu malah terdiam sambil menatap Dion lewat pantulan cermin.

Buru-buru Cia membasuh wajahnya, kemudian mengeringkannya menggunakan handuk.

“Hey, makasih untuk hari ini.”

“Sama-sama kak, oh iya gue juga nyimpen hadiah. Hadiahnya di laci yang ada di kamar kak Dion.”

Dion sedikit berdecak, “kenapa repot-repot sih?”

“Birthday tanpa kado sama kue itu gak seru kak!”

Dion terkekeh pelan, kemudian lelaki itu meraih sesuatu di dalam saku celananya.

“Cia, maaf kalo kesannya jelek banget. Tapi saya enggak mau kehilangan kamu lebih jauh lagi.”

Sebuah cincin.

Iya, Dion melamar Cia pada hari ulang tahunnya.

“Kak? Kok malah gue yang dikasih kejutan?”

“Tangan saya pegal, Cia.”

Cia mengangguk pelan, kemudian senyum merekah di wajah keduanya. Dion mengambil lengan Cia untuk ia pasangkan cincin ke jari manisnya.

“Makasih, makasih banyak,” ujar Dion sambil menarik Cia ke dalam pelukannya sambil sesekali mengecup pelan pucuk kepalanya.

Cia juga ikut melingkarkan lengannya di tubuh Dion. Erat, sangat erat. Mau bagaimana pun juga, pelukan Dion menjadi tempat paling Cia sukai.

Dion sedikit memberi jarak pada keduanya, menatap netra Cia dalam-dalam. Degub jantung kedua manusia ini nampak saling bersahutan memanggil satu sama lain.

Kecupan manis mendarat sempurna di kening Cia, tidak ada protes dari perempuan itu. Kemudian Dion menurunkan kecupannya di hidung Cia, dan berakhir di bibir ranum perempuannya.

Mengesapnya perlahan tanpa tuntutan lebih. Tidak ada suara sejenis protes dari perempuannya, malah candunya itu melingkarkan lengannya di leher Dion.

Saat-saat seperti ini Cia malah teringat soal omongan Tigra yang ternyata benar adanya. Degub jantung Cia berdetak tak terkendali, pertanda bahwa kini dirinya telah jatuh sedalam-dalamnya pada sosok yang kini mengecup pelan rahangnya di beberapa tempat. Semakin turun ke bawah, harum buah persik menyeruak dari leher Cia.

Candu, hanya itu yang mampu Dion deskripsikan detik ini.

Lengan yang semula melingkar di leher Dion kini beralih, naik sedikit untuk sesekali meremas rambut demi melampiaskan perasaannya.

“I love you, I really do” bisik Dion tepat di samping telinga kanan Cia.

“Kak,” panggil Cia dengan suara rendahnya.

“Hm?”

Cia menyandarkan kepalanya di dada bidang yang nampaknya kini resmi menjadi kekasihnya. Degub jantung Dion nampak terdengar begitu keras, membuat senyuman kecil terukir manis di bibir Cia.

“Parfum kak Dion harum,” ucap Cia, semakin menghirup wangi lelaki itu.

“Nanti saya kasih parfumnya, mau?”

Anggukan pelan dari Cia menjadi jawaban dari pertanyaan Dion.

“Oke, nanti say—”

“AUDZUBILLAHIMINASYAITONIRAZIM!!! Allaahumma lakasumtu— EH ANJING KOK DOA BUKA PUASA”, teriak Dika.

Ada banyak hal di dunia ini yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya sama sekali. Tentang bagaimana sebuah hubungan akan terjalin atau berakhir. Alea tidak pernah melupakan nasehat soal 'manusia hanya bisa merencanakan, sisanya Tuhan yang menentukan'.

Hari ini hujan, dan Alea sama sekali tidak menyangka kalo hujan bakalan turun padahal tadi siang masih sangat cerah. Ia bukan orang yang bakalan nyimpen payung di tas miliknya setiap hari. Terlalu ribet.

Lantas wanita itu hanya bisa menatap jalanan yang di guyur oleh hujan, sambil sesekali bersenandung ria setelah memasangkan earphone di kedua telinganya. Tidak peduli jika orang menatapnya dengan tatapan aneh atau mengejek.

Sesekali gemuruh terdengar setelah kilat menyambar di atas langit. Alea suka hujan, tapi tidak suka dengan hal-hal yang dikaitkan dengan hujan. Contohnya, sedih, menangis, dan air mata.

“Hei.”

Sedikit tersentak, saat seseorang melepas earphone sebelah kanan dan membisikan sapaan.

“Gila, bikin kaget aja.”

Lelaki itu tersenyum lebar, “hehe. Lama nunggu nya?”

Alea menggeleng pelan, “enggak. Baru keluar barusan kok.”

Lelaki itu mengacak pelan rambut Alea kemudian menautkan seluruh jemari mereka. Lelaki itu juga memasukkan lengan keduanya ke dalam saku jaket yang dikenakan oleh lelaki tersebut.

“Hangat.”

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum, “saku jaket aku gak bakalan kerasa anget kalo gak diisi tangan kamu.”

Alea terkekeh pelan, “gombalannya itu loh, aneh.”

“Loh, bukan aneh. Ini namanya antimainstream.”

Pada akhirnya keduanya saling tertawa lebar, menertawakan percakapan random nan aneh yang mereka bangun sore itu di bawah guyuran hujan.

“Kalo nanti kita nikah, aku bakalan ajak kamu duduk sambil ngadep jendela. Minum teh atau kopi panas sambil liatin hujan, sesekali diganggu sama anak-anak kita yang ngerengek minta dibuatin makanan ringan atau minta dibacain buku dongeng.”

Kedua sudut bibir Alea tertarik pelan. “Emangnya kita bakalan nikah?”

Decakan pelan keluar dari bibir lelaki itu, “doain aja. Takdir gak bakalan ada yang tau.”

“Iya, karena gak ada yang tau itu makanya aku gak mau punya ekspektasi lebih tinggi lagi.”

Lelaki itu menoleh, menatap wajah Alea yang nampak semakin cantik setiap harinya. “Tapi mau kan?”

Anggukan pelan nampak terlihat dari wanita itu. “Sampe tua, kayaknya aku mau sama kamu terus.”

“Kenapa?”

“Hm, gapapa. Gak boleh emangnya?”

Lelaki itu semakin mengeratkan tautannya, “boleh, banget. Aku bersedia kok hidup sampe tua sama kamu. Kalo bisa aku mau minta biar kita matinya barengan aja.”

Kening Alea nampak mengerut samar, “kenapa?”

“Aku gak bakalan sanggup kalo ternyata kamu yang lebih dulu ninggalin aku, Al. Aku gak tau bakalan kayak gimana.”

“Kalo ternyata yang duluan bukan aku gimana?”

Lelaki itu nampak terdiam, kemudian berdeham pelan. “Tergantung.”

“Apa?”

“Kalo kamu sayang sama aku, kamu harus lanjutin hidup kamu.”

Alea nampak berdecak pelan, “masa gitu sih. Aku kan sayang banget, harusnya ikut mati aja.”

“Gak gitu, Al. Nanti kita pasti punya anak, anak kita gak bisa ditinggal kedua orang tuanya gitu aja. Enggak ada yang tau kita bakalan mati pas anak-anak masih kecil atau udah gede. Tapi Al, kehilangan orang tua itu salah satu penyebab runtuhnya semesta seseorang.”

Merasa hawa disekitar mereka menjadi semakin sedih, Alea jadi merapatkan tubuhnya pada lelaki itu kemudian menyandarkan kepalanya.

“Perihal kematian, kayaknya enggak pernah bisa dijadikan alasan orang buat menghentikan hidupnya. Se-sayang apapun, se-cinta apapun, enggak waras kalo kamu berhenti hidup karena kehilangan semesta kamu. Memang kelihatannya enggak adil, tapi semua sudah diatur oleh Tuhan.”

“Hm, aku paham. Aku enggak mau mikirin yang jelek-jelek dulu. Takut.”

Lelaki itu mengecup pelan pucuk kepala Alea dengan lembut. “Gapapa, gak usah dipikirin. Mending kita pulang sekarang, hujannya udah gak terlalu deres.”

Alea mengangguk pelan. Lelaki itu kemudian melepas jaketnya untuk melindungi kepala Alea dari hujan yang belum sepenuhnya mereda dari tempat mereka berdiri sampai ke tempat parkir.

“Kak.”

Lelaki itu menoleh pelan.

“Aku mau—”

”—nikah sama Kak Jarell.”

© Pchss_, 2022

Qrt this part dengan reaksi kamu pas baca part ini kalo kamu mau sequel Tukar Pacar

Ada banyak hal di dunia ini yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya sama sekali. Tentang bagaimana sebuah hubungan akan terjalin atau berakhir. Alea tidak pernah melupakan nasehat soal 'manusia hanya bisa merencanakan, sisanya Tuhan yang menentukan'.

Hari ini hujan, dan Alea sama sekali tidak menyangka kalo hujan bakalan turun padahal tadi siang masih sangat cerah. Ia bukan orang yang bakalan nyimpen payung di tas miliknya setiap hari. Terlalu ribet.

Lantas wanita itu hanya bisa menatap jalanan yang di guyur oleh hujan, sambil sesekali bersenandung ria setelah memasangkan earphone di kedua telinganya. Tidak peduli jika orang menatapnya dengan tatapan aneh atau mengejek.

Sesekali gemuruh terdengar setelah kilat menyambar di atas langit. Alea suka hujan, tapi tidak suka dengan hal-hal yang dikaitkan dengan hujan. Contohnya, sedih, menangis, dan air mata.

“Hei.”

Sedikit tersentak, saat seseorang melepas earphone sebelah kanan dan membisikan sapaan.

“Gila, bikin kaget aja.”

Lelaki itu tersenyum lebar, “hehe. Lama nunggu nya?”

Alea menggeleng pelan, “enggak. Baru keluar barusan kok.”

Lelaki itu mengacak pelan rambut Alea kemudian menautkan seluruh jemari mereka. Lelaki itu juga memasukkan lengan keduanya ke dalam saku jaket yang dikenakan oleh lelaki tersebut.

“Hangat.”

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum, “saku jaket aku gak bakalan kerasa anget kalo gak diisi tangan kamu.”

Alea terkekeh pelan, “gombalannya itu loh, aneh.”

“Loh, bukan aneh. Ini namanya antimainstream.”

Pada akhirnya keduanya saling tertawa lebar, menertawakan percakapan random nan aneh yang mereka bangun sore itu di bawah guyuran hujan.

“Kalo nanti kita nikah, aku bakalan ajak kamu duduk sambil ngadep jendela. Minum teh atau kopi panas sambil liatin hujan, sesekali diganggu sama anak-anak kita yang ngerengek minta dibuatin makanan ringan atau minta dibacain buku dongeng.”

Kedua sudut bibir Alea tertarik pelan. “Emangnya kita bakalan nikah?”

Decakan pelan keluar dari bibir lelaki itu, “doain aja. Takdir gak bakalan ada yang tau.”

“Iya, karena gak ada yang tau itu makanya aku gak mau punya ekspektasi lebih tinggi lagi.”

Lelaki itu menoleh, menatap wajah Alea yang nampak semakin cantik setiap harinya. “Tapi mau kan?”

Anggukan pelan nampak terlihat dari wanita itu. “Sampe tua, kayaknya aku mau sama kamu terus.”

“Kenapa?”

“Hm, gapapa. Gak boleh emangnya?”

Lelaki itu semakin mengeratkan tautannya, “boleh, banget. Aku bersedia kok hidup sampe tua sama kamu. Kalo bisa aku mau minta biar kita matinya barengan aja.”

Kening Alea nampak mengerut samar, “kenapa?”

“Aku gak bakalan sanggup kalo ternyata kamu yang lebih dulu ninggalin aku, Al. Aku gak tau bakalan kayak gimana.”

“Kalo ternyata yang duluan bukan aku gimana?”

Lelaki itu nampak terdiam, kemudian berdeham pelan. “Tergantung.”

“Apa?”

“Kalo kamu sayang sama aku, kamu harus lanjutin hidup kamu.”

Alea nampak berdecak pelan, “masa gitu sih. Aku kan sayang banget, harusnya ikut mati aja.”

“Gak gitu, Al. Nanti kita pasti punya anak, anak kita gak bisa ditinggal kedua orang tuanya gitu aja. Enggak ada yang tau kita bakalan mati pas anak-anak masih kecil atau udah gede. Tapi Al, kehilangan orang tua itu salah satu penyebab runtuhnya semesta seseorang.”

Merasa hawa disekitar mereka menjadi semakin sedih, Alea jadi merapatkan tubuhnya pada lelaki itu kemudian menyandarkan kepalanya.

“Perihal kematian, kayaknya enggak pernah bisa dijadikan alasan orang buat menghentikan hidupnya. Se-sayang apapun, se-cinta apapun, enggak waras kalo kamu berhenti hidup karena kehilangan semesta kamu. Memang kelihatannya enggak adil, tapi semua sudah diatur oleh Tuhan.”

“Hm, aku paham. Aku enggak mau mikirin yang jelek-jelek dulu. Takut.”

Lelaki itu mengecup pelan pucuk kepala Alea dengan lembut. “Gapapa, gak usah dipikirin. Mending kita pulang sekarang, hujannya udah gak terlalu deres.”

Alea mengangguk pelan. Lelaki itu kemudian melepas jaketnya untuk melindungi kepala Alea dari hujan yang belum sepenuhnya mereda dari tempat mereka berdiri sampai ke tempat parkir.

“Kak.”

Lelaki itu menoleh pelan.

“Aku mau—”

”—nikah sama Kak Jarell.”

© Pchss_, 2022

Qrt this part dengan reaksi kamu pas baca part ini kalo kamu mau sequel Tukar Pacar

Halo, Sadena.

Lama banget kayaknya kita gak ketemu.

Gue kangen, banget. Setiap hari gue kepikiran sama lo.

Sadena, lo bahagia gak disana? Harus yah? Lo harus bahagia.

Gue sedih banget kehilangan lo Sadena. Semesta gue beneran hancur. Gue yang takut ninggalin lo, tapi malah lo yang ninggalin gue. Kenapa Sadena? Kenapa?

Gue ngerasa hampa banget saat lo pergi, Sadena. Gak ada lagi yang ngajak gue beli es krim malem-malem, gak ada yang kasih gue tebak-tebakan, gak ada lagi yang chat gue sambil bilang “Sadena ganteng lebih dari bang arga.”

Gue hampa sadena.

Gue hampa tanpa lo.

Detak jantung ini, salah satu suara yang paling gue benci. Gue gak suka. Gue gak mau, Sadena. Buat apa kalo gue hidup tapi lo gak ada disisi gue? Lo bilang, lo janji mau bawa gue liat kita lagi. Tapi kenyataannya apa? Lo pergi Sadena.

Pada akhirnya memang Altair gak pernah bisa bareng sama Vega yah?

Sadena, makasih yah? Dan maaf.

Semoga dikehidupan selanjutnya kita berada di garis takdir yang sama.

Sampai jumpa, Sadena.

Gue sayang banget sama lo.

—Vega, 2027

“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”

Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.

Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.

“Bina, jangan ngeyel deh!”

Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.

“Bentar, ambil jaket dulu.”

Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.

“Pake, dingin diluar.”

Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.

Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.

“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”

Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.

“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”

Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.

Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

“SADENA! BANGUN SADENA!”

Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.

Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.

“SADENA!”

“B-bina, c-cantik.”

Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.

“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”

“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.

“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”

“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”

Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.

“SADENA!”

Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.

“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”

Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.

“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”

Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.

“Sabrina, dengerin gue.”

“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”

“Bina ikhlas yah?—”

”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”

“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”

Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.

Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.

“Bina, jangan ngeyel deh!”

Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.

“Bentar, ambil jaket dulu.”

Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.

“Pake, dingin diluar.”

Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.

Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.

“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”

Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.

“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”

Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.

Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

“SADENA! BANGUN SADENA!”

Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.

Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.

“SADENA!”

“B-bina, c-cantik.”

Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.

“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”

“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.

“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”

“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”

Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.

“SADENA!”

Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.

“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”

Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.

“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”

Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.

“Sabrina, dengerin gue.”

“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”

“Bina ikhlas yah?—”

”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”

“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”

Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.

Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.

“Bina, jangan ngeyel deh!”

Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.

“Bentar, ambil jaket dulu.”

Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.

“Pake, dingin diluar.”

Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.

Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.

“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”

Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.

“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”

Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.

Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

“SADENA! BANGUN SADENA!”

Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.

Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.

“SADENA!”

“B-bina, c-cantik.”

Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.

“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”

“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.

“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”

“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”

Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.

“SADENA!”

Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.

“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”

Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.

“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”

Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.

“Sabrina, dengerin gue.”

“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”

“Bina ikhlas yah?—”

”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”

“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”

Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.

Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.

“Bina, jangan ngeyel deh!”

Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.

“Bentar, ambil jaket dulu.”

Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.

“Pake, dingin diluar.”

Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.

Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.

“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”

Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.

“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”

Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.

Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

“SADENA! BANGUN SADENA!”

Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.

Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.

“SADENA!”

“B-bina, c-cantik.”

Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.

“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”

“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.

“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”

“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”

Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.

“SADENA!”

Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.

“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”

Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.

“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”

Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.

“Sabrina, dengerin gue.”

“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”

“Bina ikhlas yah?—”

”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”