Dari Evan

Saya bukannya hendak melupakan mendiang istri saya dan berpaling pada Regina. Hanya saya harus sedikit mengurangi perasaan pada mendiang istri saya untuk menghargai keberadaan Regina.

Regina, sudah lama sekali dia bekerja dengan saya.

Sejak awal saya bertemu dengannya, saya merasa tertarik. Bukan, bukan dalam artian saya menyukainya karena sebuah euforia dalam hati saya. Saya masih bersama mendiang istri saya pada waktu itu.

Saya sudah menduga kalau Regina sangat kompeten dalam pekerjaannya. Dan itu terbukti. Tidak ada masalah yang pernah dia ciptakan selama bekerja. Semuanya berjalan dengan lancar.

Saya sering memberinya hadiah sebagai bentuk reward atas pencapaiannya selama bekerja. Dan dia sangat pantas mendapatkannya.

Malam itu, ah saya sebenernya tidak mau membicarakan ini. Tapi saya sangat yakin soal anak itu. Feeling saya kuat, namun ingatan saya tidak sepenuhnya saya ingat.

Keputusan saya untuk membawa Regina tinggal bersama bukan semata-mata bertujuan untuk pendekatan yang saya lakukan. Saya serius soal anak itu, soal keselamatan Regina dan anak itu. Saya juga tidak pernah main-main dalam hal apapun termasuk pertanggung jawaban yang harus saya lakukan meskipun Regina masih ragu akan hal itu.

Hari itu, Regina seperti biasa membawa nampan berisi kopi panas yang selalu saya minum. Dengan perutnya yang nampak membesar, Regina nampak sedikit kesusahan.

“Pak ini kopinya.”

“Regina, saya kan sudah bilang sama kamu. Memangnya saya setua itu yah?”

Regina kaget, jelas. Permintaan itu sepertinya cukup membuat Regina berpikir bahwa saya ini adalah manusia yang aneh. Tapi saya juga tidak main-main soal itu. Saya hanya ingin kita menjadi dekat. Tanpa embel-embel atasan dan bawahan.

“Saya belum terbiasa, mas.”

Kata yang terakhir Regina ucapkan itu berhasil menarik kedua ujung bibir saya. Setelah Regina menarik nampan kosong, saya mengajak Regina untuk duduk di atas sofa. Bermaksud menanyakan kepastian soal ajakan yang sudah saya tawarkan.

“Saya takut merepotkan.”

Lagi dan lagi, padahal saya tidak pernah merasa direpotkan. Justru sebaliknya, saya yang lebih sering merepotkan Regina. Entah dalam hal pekerjaan atau dalam hal yang sifatnya pribadi.

“Regina, saya gak pernah merasa terbebani.”

Meskipun ada sedikit keraguan yang tercetak jelas di raut wajah Regina. Namun anggukan pelan yang Regina berikan membuat hati saya sedikit lebih lega. Setidaknya, saya akan lebih mudah memberikan semua hal baik yang dibutuhkan oleh Regina dan anak kita.

Iya, anak kita.

Refleks, saya menarik lengan Regina dan menggenggamnya erat. Mengucapkan banyak terimakasih pun tidak saya lupakan.

“Regina.”

Ah, terlalu candu untuk memanggil namanya seperti itu.

“Iya mas?”

Jantung saya, tidak tahan.

“Saya izin untuk mendekati kamu, boleh?”

©Pchss_