Pchss

Here I stand

“Masih jam lima nih, mau jajan apa lagi?”

Luna menggeleng pelan sebagai jawaban. Perutnya baru saja terisi berbagai macam sushi dan benar apa kata Pram kemarin, mereka benar-benar makan sushi sampai merasa perut hampir meledak.

“Gue mau cari desert aja buat kak Gemma.”

“Oke.”

Pada akhirnya Luna memutuskan untuk mencari desert yang akan dia bawa pulang sebagai buah tangan untuk Gemma. Sekaligus Luna juga berniat membelikan desert untuk ibunya Pram. Meskipun pada awalnya Pram menolak saat Luna hendak membelikan ibunya desert.

Toko desert di salah satu mall terkenal di Bandung itu cukup ramai. Tidak heran karena mereka berkunjung pada hari weekend.

Saat hendak masuk ke dalam toko desert tersebut langkah kaki Luna dan Pram sama-sama dihentikan oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba menyapanya.

“Loh, Luna? Kapan balik ke Indonesia? Kok gak kabarin gue?”

Pram pikir laki-laki tersebut adalah orang yang cukup dekat dengan Luna dilihat dari bagaimana laki-laki itu memanggilnya dengan panggilan 'Luna'. Tapi sepertinya dugaan Pram salah besar.

Respon yang diberikan Luna pada laki-laki tersebut sangatlah diluar dugaan. Bukannya balik menyapa Luna malah menyembunyikan tubuhnya di belakang tubuh Pram yang tinggi semampai.

“Ng-ngapain lo disini!”

Pram terkejut, suara Luna benar-benar gemetar. Ditambah lagi sekarang Luna meremat lengan Pram dengan sangat kuat. Pram tentu bisa merasakan bagaimana tubuh Luna gemetar hebat.

Dirasa laki-laki di hadapan mereka bukan orang yang bisa dibilang baik, lantas Pram semakin menyembunyikan tubuh Luna di belakangnya.

“Lo siapa?!” tanya Pram.

Laki-laki tersebut mengernyit kemudian tersenyum seolah meremehkan Pram.

“Gue yang tanya sama lo, lo siapa? Pacar barunya Luna?” tanya laki-laki itu.

“Iya,” jawab Pram dengan lantang. “Mending lo pergi, cewek gue gak suka liat lo disini.”

Laki-laki itu terkekeh, kemudian melayangkan tatapan tajam pada Luna sebelum akhirnya meninggalkan Luna dan Pram.

“Lun—”

Tubuh Luna melemas begitu laki-laki itu pergi dari hadapannya. Beruntung Pram dengan segera menahan tubuh Luna dan membawanya menjauh dari tempat yang ramai. Pram takut Luna tidak nyaman dengan tatapan heran dari orang-orang sekitar. Tapi Luna meminta Pram membawanya untuk pergi ke mobil saja.

“Minum dulu, Lun,” ucap Pram sambil menyodorkan air mineral.

Luna meminumnya sedikit kemudian menyandarkan tubuhnya pada jok mobil dan menutup wajahnya sampai pada akhirnya gadis itu menangis dengan tubuh yang sangat gemetar.

Pram yang tidak tega melihatnya langsung menarik Luna kemudian dia dekap dengan erat.

“It's ok, Lun. Ada gue disini.”

©Pchss_

Here I stand

“Masih jam lima nih, mau jajan apa lagi?”

Luna menggeleng pelan sebagai jawaban. Perutnya baru saja terisi berbagai macam sushi dan benar apa kata Pram kemarin, mereka benar-benar makan sushi sampai merasa perut hampir meledak.

“Gue mau cari desert aja buat kak Gemma.”

“Oke.”

Pada akhirnya Luna memutuskan untuk mencari desert yang akan dia bawa pulang sebagai buah tangan untuk Gemma. Sekaligus Luna juga berniat membelikan desert untuk ibunya Pram. Meskipun pada awalnya Pram menolak saat Luna hendak membelikan ibunya desert.

Toko desert di salah satu mall terkenal di Bandung itu cukup ramai. Tidak heran karena mereka berkunjung pada hari weekend.

Saat hendak masuk ke dalam toko desert tersebut langkah kaki Luna dan Pram sama-sama dihentikan oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba menyapanya.

“Loh, Luna? Kapan balik ke Indonesia? Kok gak kabarin gue?”

Pram pikir laki-laki tersebut adalah orang yang cukup dekat dengan Luna dilihat dari bagaimana laki-laki itu memanggilnya dengan panggilan 'Luna'. Tapi sepertinya dugaan Pram salah besar.

Respon yang diberikan Luna pada laki-laki tersebut sangatlah diluar dugaan. Bukannya balik menyapa Luna malah menyembunyikan tubuhnya di belakang tubuh Pram yang tinggi semampai.

“Ng-ngapain lo disini!”

Pram terkejut, suara Luna benar-benar gemetar. Ditambah lagi sekarang Luna meremat lengan Pram dengan sangat kuat. Pram tentu bisa merasakan bagaimana tubuh Luna gemetar hebat.

Dirasa laki-laki di hadapan mereka bukan orang yang bisa dibilang baik, lantas Pram semakin menyembunyikan tubuh Luna di belakangnya.

“Lo siapa?!” tanya Pram.

Laki-laki tersebut mengernyit kemudian tersenyum seolah meremehkan Pram.

“Gue yang tanya sama lo, lo siapa? Pacar barunya Luna?” tanya laki-laki itu.

“Iya,” jawab Pram dengan lantang. “Mending lo pergi, cewek gue gak suka liat lo disini.”

Laki-laki itu terkekeh, kemudian melayangkan tatapan tajam pada Luna sebelum akhirnya meninggalkan Luna dan Pram.

“Lun—”

Tubuh Luna melemas begitu laki-laki itu pergi dari hadapannya. Beruntung Pram dengan segera menahan tubuh Luna dan membawanya menjauh dari tempat yang ramai. Pram takut Luna tidak nyaman dengan tatapan heran dari orang-orang sekitar. Tapi Luna meminta Pram membawanya untuk pergi ke mobil saja.

“Minum dulu, Lun,” ucap Pram sambil menyodorkan air mineral.

Luna meminumnya sedikit kemudian menyandarkan tubuhnya pada jok mobil dan menutup wajahnya sampai pada akhirnya gadis itu menangis dengan tubuh yang sangat gemetar.

Pram yang tidak tega melihatnya langsung menarik Luna kemudian dia dekap dengan erat.

“It's ok, Lun. Ada gue disini.”

Sejak Pram menginjakkan kaki di studio milik Rama rasa gelisah dan canggung langsung melingkupinya. Pram melirik ke arah laki-laki yang tengah duduk sambil memainkan ponselnya kemudian mengambil tempat duduk tepat di samping Ezra. Pram lebih memilih duduk di samping Ezra ketimbang harus duduk di samping Arga yang masih mendiamkannya sejak insiden kaburnya Luna.

Pada awalnya Pram mengernyit bingung ketika melihat baju yang dipakai oleh ketiga teman-temannya. Arga, Ezra dan Rama sama-sama memakai baju yang sedikit formal berwarna hitam. Namun beberapa detik kemudian Pram ingat. Bahwa hari ini adalah hari peringatan kematian Amara.

Lagi, Pram tidak pernah ikut bersama teman-temannya untuk nyekar ke makam Amara. Alasannya cukup jelas, Arga tidak mengizinkannya.

“Kopi gak lo?” tanya Rama. Pram menggeleng pelan setelah itu mengeluarkan rokok dari dalam saku celana jeans nya.

“Loh aing kira maneh udah gak sebat?” tanya Ezra.

“Kali-kali doang,” jawabnya santai sambil mematik korek api.

Dari arah bersebrangan Arga menatap Pram dengan tatapan yang cukup tidak menyenangkan. Pram menyadari hal itu namun tidak ia pedulikan sama sekali.

“Adek gue dimana?” tanya Arga spontan.

Pram menaikkan sebelah alisnya sambil menghembuskan asap rokok sembarangan, “mana gue tau?”

“Terakhir kan dia sama lo, gue yakin lo tau kemana adek gue.”

Lagi, Pram hanya mengedikkan bahunya meskipun pada kenyataannya Pram tau dimana keberadaan Luna. Ia sudah berjanji pada gadis itu untuk tidak memberitahu dimana Luna berada.

Namun respon Arga tidak sesuai dengan apa yang Pram kira, laki-laki itu malah beranjak dari tempat duduknya kemudian menarik kerah kaos yang dikenakan Pram, “Lo jangan nguji kesabaran gue!”

“EH JANGAN GELUD ATUH!” Pisah Ezra, walau kenyataannya Ezra tidak bisa memisahkan dua orang itu. Keduanya sama-sama terlalu kuat.

“RAMA ATUH AI SIA BANTUAN AING!” Rama hanya terdiam meskipun Ezra dari tadi sibuk meneriakinya dengan sumpah serapah karena membiarkan Arga dan Pram berseteru sampai akan saling adu jotos itu.

“Lepasin, Ja. Biarin aja,” jawab Rama. Pada akhirnya Ezra hanya bisa melepaskan keduanya sambil mengacak rambutnya frustasi.

“Lo gak ada hak buat tau dimana Luna, Ga.”

Arga semakin memanas, laki-laki itu bersiap untuk menghajar Pram yang sejak tadi tidak melawan sedikitpun. Bahkan rokok yang baru saja Pram nyalakan itu kini tergeletak di atas lantai studio begitu saja.

“Bangsat!”

Arga akhirnya melepaskan cengkraman tangannya dari Pram serta menurunkan kepalan tangannya yang tadi bersiap menghajar Pram habis-habisan. Namun Arga lebih memilih pergi meninggalkan tempat itu.

©Pchss, 2023

Malam itu jalanan nampak cukup ramai, banyak orang berlalu lalang. Pram baru saja menghentikan motornya tepat di depan kedai dimsum yang ada di daerah Dipatiukur. Kedai dimsum yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil itu pun nampak ramai.

Setelah Pram meletakkan helm miliknya ke atas motor dan sedikit merapihkan rambutnya ia kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam kedai dimsum tersebut. Matanya berpendar sejenak setelah ia melangkahkan kakinya memasuki kedai itu. Sampai akhirnya pandangan Pram berhenti pada punggung seorang laki-laki lain yang nampak tengah meneguk es kopi dan dilanjutkan dengan menghisap rokok yang ada di tangannya.

Dengan langkah pasti Pram mengambil tempat duduk tepat di depan laki-laki yang ia yakini adalah Gemma Radian Anggara itu.

“Eh, Pram ya?” Tanya Gemma, Pram mengangguk pelan.

“Nyebat gak?” Tanya Gemma, lagi.

“Nanti aja, bang,” tolak Pram dengan halus.

“Gak usah pesen, udah gue pesenin. Suka es kopi juga gak?”

Pram mengangguk, “makasih, bang.”

Gemma menaik turunkan kedua alisnya seraya meneguk es kopinya lagi. Setelah itu Gemma mematikan puntung rokoknya dan mulai fokus pada Pram.

“Mulai dari mana yah? Hm, bentar,” ucap Gemma nampak tengah berpikir keras.

“Santai aja bang.”

“Gue bukan pacarnya luna, gue sepupunya luna,” ucap Gemma.

Pram sebenarnya tidak terlalu kaget karena sebelumnya ia sudah mengira soal hal ini setelah berbicara dengan Rama perihal nama akhir Gemma itu. Namun hal yang membuat Pram cukup kaget adalah kalimat yang Gemma lontarkan selanjutnya.

“Lo tau bapaknya si arga? Itu juga bukan bapak kandungnya, itu bapak gue.”

Percakapan keduanya sempat terhenti saat pelayan membawa nampan berisi beberapa jenis dimsum dan es kopi yang sudah Gemma pesan sebelumnya untuk Pram. Setelah mengucapkan terimakasih pada pelayan kedai tersebut Gemma kembali melanjutkan obrolan mereka yang sempat terhenti itu.

“Pram sorry ya gue sebenernya gak berhak buat cerita ini ke lo, tapi menurut gue Arga juga udah cukup keterlaluan,” ucap Gemma dan Pram hanya mengangguk.

“Bang, kalo gak memungkinkan buat cerita gapapa.”

“Santai. Orang tua Arga sama Luna itu udah meninggal waktu mereka duduk di bangku SMP kelas 3. Karena ibu mereka gak punya kerabat dekat dan kerabat dari pihak ayahnya cuman punya bokap gue jadinya bokap gue yang ngurus mereka sampe sekarang. Tapi karena urusan bokap nyokap gue kebanyakan ada di Paris makanya Luna ikut ke Paris waktu SMA kelas dua belas.”

Sesekali percakapan mereka terhenti karena jujur Gemma tidak bisa membiarkan dimsum yang dia pesan dingin begitu saja.

“Arga juga sebenernya udah diajak sama orang tua gue cuman dia gak mau. Dia gak mau ninggalin rumah di Bandung karena dia bilang terlalu banyak kenangan sama orang tua mereka. Mungkin ya Pram, hal itu juga yang bikin Pram jadi overprotective sama Luna. Pram cuman punya Luna di dunia ini.”

Pram terdiam, mendengar hal itu sekarang dia tau seberapa besar rasa sayang Arga terhadap kembarannya.

“Arga juga memang anaknya terlalu tertutup, gue yang kakak sepupunya aja gak tau apa apa soal anak itu.”

Gemma kembali menyuap sepotong dimsum ke dalam mulutnya, “sambil makan, Pram.”

“Iya, bang.”

“Arga paling gak suka soal taruhan, Luna dulu pernah jadi bahan taruhan waktu masih SMA. Yang mungkin hal itu juga yang bikin Luna milih ikut bokap nyokap gue ke Paris, dan milih buat ikut kursus baking dari pada lanjut kuliah. Hal itu juga yang bikin Arga jadi makin protektif sama Luna soal masalah cowok.”

Pernyataan yang dilontarkan oleh Gemma kali itu membuat Pram benar-benar terdiam. Pram masih belum memberikan respon apapun, ia hanya bisa menatap ke arah gelas berisi es kopi yang mana es-nya mulai mencair itu.

“Pram?”

Pram mendongak, ia memberanikan diri untuk menatap ke arah Gemma.

“Bang, gue pernah terlibat taruhan soal cewek.”

©Pchss_

Warning // Mention of dead, suicide

Tempo langkah kaki Adimas yang asalnya cepat kini mulai melambat. Degup jantungnya kini kian cepat seiring dengan nafasnya yang berhembus tak beraturan. Tubuhnya terpaku kala ia mendapati mobil polisi dan ambulance memadati area depan gedung apartemen. Beberapa kali Adimas menekan nomor Evan pada layar ponselnya pun tidak kunjung mendapat respon. Dengan tergesa, Adimas kini berlari ke dalam gedung apartemen. Menaiki satu persatu anak tangga yang ia yakini bahwa lewat tangga darurat akan lebih cepat sampai ketimbang menggunakan lift.

Adimas kembali terdiam begitu sampai di depan pintu unit apartemen milik Regina yang sudah terpasang garis polisi. Lelaki itu kini berjalan mendekat ke arah Kavi yang nampak sibuk menerima telepon dari seseorang.

“Pak Evan mana?”

Kavi menoleh begitu Adimas memegang pundak dan menyebut namanya. Lelaki itu memutuskan sambungan telepon yang diyakini Adimas dari istrinya Kavi itu.

“Di dalem.”

“Ini kenapa ada banyak polisi? Kenapa ada ambulance juga di bawah?” tanya Adimas dengan nafas yang masih tersendat sendat.

“Itu—”

Belum sempat Kavi menjawab pertanyaan Adimas beberapa petugas keluar dari unit apartemen milik Regina sambil membawa kantung jenazah.

“Kavi, jangan bilang—”

Tidak sampai disitu, petugas lain menyusul dengan satu kantung jenazah lainnya. Membuat Adimas hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya.

“Iya, Dim. Kayak yang lo lihat,” ucap Kavi.

Adimas masih terdiam sampai para petugas itu hilang dari pandangannya. Beberapa detik kemudian nampak Evan keluar dengan seorang polisi. Nampaknya lelaki itu baru saja memberikan keterangan pada pihak polisi. Dengan raut wajah yang sedikit kacau, Evan berjalan mendekat ke arah Adimas dan Kavi setelah selesai berbincang dengan pihak polisi tersebut.

“Van,” panggil Adimas.

“Hasta,” ucap Evan nampak begitu berat untuk melanjutkan ucapannya. Namun setelah lelaki itu menarik nafas cukup panjang dengan tegas ia menjelaskan, “dia kehilangan akal. Dia bunuh keysha—”

Evan menelan susah payah salivanya, “terus dia bunuh diri.”

“Van.”

“Gue gak tau motif dia apa, tapi polisi nemuin ini di saku celana yang dia pake,” lanjut Evan sambil menjulurkan sebuah surat. “Gue gak bisa buka surat ini karena gue rasa gak ada hak. Gue bakalan kasih surat ini ke Regina, Dim. Tapi gue juga gak tau gimana kasih tau Regina soal kejadian hari ini.”

Adimas terdiam, apalagi Kavi. Dirasa tidak ada alasan untuk dia ikut campur dalam masalah ini, Kavi memilih pamit untuk mengurus jenazah Hasta dan Keysha.

“Gue bisa aja ngasih tau Regina soal Hasta,” ujar Adimas dengan penuh percaya diri.

“Tapi gue gak mampu ngasih tau Regina soal Keysha, Van.”

“Gue—”

Obrolan keduanya terputus begitu saja ketika Evan mendapati sebuah panggilan masuk dari Regina.

“Halo?”

”...”

Adimas memperhatikan raut wajah Evan yang seketika berubah menjadi khawatir setelah menutup sambungan telepon itu.

“Kenapa, Van?”

“Regina.”

“Kenapa Regina?”

“Gue mau jadi ayah, Regina mau lahiran, Dim.”

©Pchss

Warning // Mention of dead, suicide

Tempo langkah kaki Adimas yang asalnya cepat kini mulai melambat. Degup jantungnya kini kian cepat seiring dengan nafasnya yang berhembus tak beraturan. Tubuhnya terpaku kala ia mendapati mobil polisi dan ambulance memadati area depan gedung apartemen. Beberapa kali Adimas menekan nomor Evan pada layar ponselnya pun tidak kunjung mendapat respon. Dengan tergesa, Adimas kini berlari ke dalam gedung apartemen. Menaiki satu persatu anak tangga yang ia yakini bahwa lewat tangga darurat akan lebih cepat sampai ketimbang menggunakan lift.

Adimas kembali terdiam begitu sampai di depan pintu unit apartemen milik Regina yang sudah terpasang garis polisi. Lelaki itu kini berjalan mendekat ke arah Kavi yang nampak sibuk menerima telepon dari seseorang.

“Pak Evan mana?”

Kavi menoleh begitu Adimas memegang pundak dan menyebut namanya. Lelaki itu memutuskan sambungan telepon yang diyakini Adimas dari istrinya Kavi itu.

“Di dalem.”

“Ini kenapa ada banyak polisi? Kenapa ada ambulance juga di bawah?” tanya Adimas dengan nafas yang masih tersendat sendat.

“Itu—”

Belum sempat Kavi menjawab pertanyaan Adimas beberapa petugas keluar dari unit apartemen milik Regina sambil membawa kantung jenazah.

“Kavi, jangan bilang—”

Tidak sampai disitu, petugas lain menyusul dengan satu kantung jenazah lainnya. Membuat Adimas hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya.

“Iya, Dim. Kayak yang lo lihat,” ucap Kavi.

Adimas masih terdiam sampai para petugas itu hilang dari pandangannya. Beberapa detik kemudian nampak Evan keluar dengan seorang polisi. Nampaknya lelaki itu baru saja memberikan keterangan pada pihak polisi. Dengan raut wajah yang sedikit kacau, Evan berjalan mendekat ke arah Adimas dan Kavi setelah selesai berbincang dengan pihak polisi tersebut.

“Van,” panggil Adimas.

“Hasta,” ucap Evan nampak begitu berat untuk melanjutkan ucapannya. Namun setelah lelaki itu menarik nafas cukup panjang dengan tegas ia menjelaskan, “dia kehilangan akal. Dia bunuh keysha—”

Evan menelan susah payah salivanya, “terus dia bunuh diri.”

“Van.”

“Gue gak tau motif dia apa, tapi polisi nemuin ini di saku celana yang dia pake,” lanjut Evan sambil menjulurkan sebuah surat. “Gue gak bisa buka surat ini karena gue rasa gak ada hak. Gue bakalan kasih surat ini ke Regina, Dim. Tapi gue juga gak tau gimana kasih tau Regina soal kejadian hari ini.”

Adimas terdiam, apalagi Kavi. Dirasa tidak ada alasan untuk dia ikut campur dalam masalah ini, Kavi memilih pamit untuk mengurus jenazah Hasta dan Keysha.

“Gue bisa aja ngasih tau Regina soal Hasta,” ujar Adimas dengan penuh percaya diri.

“Tapi gue gak mampu ngasih tau Regina soal Keysha, Van.”

“Gue—”

Obrolan keduanya terputus begitu saja ketika Evan mendapati sebuah panggilan masuk dari Regina.

“Halo?”

”...”

Adimas memperhatikan raut wajah Evan yang seketika berubah menjadi khawatir setelah menutup sambungan telepon itu.

“Kenapa, Van?”

“Regina.”

“Kenapa Regina?”

“Gue mau jadi ayah, Regina mau lahiran, Dim.”

©Pchss

Tempo langkah kaki Adimas yang asalnya cepat kini mulai melambat. Degup jantungnya kini kian cepat seiring dengan nafasnya yang berhembus tak beraturan. Tubuhnya terpaku kala ia mendapati mobil polisi dan ambulance memadati area depan gedung apartemen. Beberapa kali Adimas menekan nomor Evan pada layar ponselnya pun tidak kunjung mendapat respon. Dengan tergesa, Adimas kini berlari ke dalam gedung apartemen. Menaiki satu persatu anak tangga yang ia yakini bahwa lewat tangga darurat akan lebih cepat sampai ketimbang menggunakan lift.

Adimas kembali terdiam begitu sampai di depan pintu unit apartemen milik Regina yang sudah terpasang garis polisi. Lelaki itu kini berjalan mendekat ke arah Kavi yang nampak sibuk menerima telepon dari seseorang.

“Pak Evan mana?”

Kavi menoleh begitu Adimas memegang pundak dan menyebut namanya. Lelaki itu memutuskan sambungan telepon yang diyakini Adimas dari istrinya Kavi itu.

“Di dalem.”

“Ini kenapa ada banyak polisi? Kenapa ada ambulance juga di bawah?” tanya Adimas dengan nafas yang masih tersendat sendat.

“Itu—”

Belum sempat Kavi menjawab pertanyaan Adimas beberapa petugas keluar dari unit apartemen milik Regina sambil membawa kantung jenazah.

“Kavi, jangan bilang—”

Tidak sampai disitu, petugas lain menyusul dengan satu kantung jenazah lainnya. Membuat Adimas hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya.

“Iya, Dim. Kayak yang lo lihat,” ucap Kavi.

Adimas masih terdiam sampai para petugas itu hilang dari pandangannya. Beberapa detik kemudian nampak Evan keluar dengan seorang polisi. Nampaknya lelaki itu baru saja memberikan keterangan pada pihak polisi. Dengan raut wajah yang sedikit kacau, Evan berjalan mendekat ke arah Adimas dan Kavi setelah selesai berbincang dengan pihak polisi tersebut.

“Van,” panggil Adimas.

“Hasta,” ucap Evan nampak begitu berat untuk melanjutkan ucapannya. Namun setelah lelaki itu menarik nafas cukup panjang dengan tegas ia menjelaskan, “dia kehilangan akal. Dia bunuh keysha—”

Evan menelan susah payah salivanya, “terus dia bunuh diri.”

“Van.”

“Gue gak tau motif dia apa, tapi polisi nemuin ini di saku celana yang dia pake,” lanjut Evan sambil menjulurkan sebuah surat. “Gue gak bisa buka surat ini karena gue rasa gak ada hak. Gue bakalan kasih surat ini ke Regina, Dim. Tapi gue juga gak tau gimana kasih tau Regina soal kejadian hari ini.”

Adimas terdiam, apalagi Kavi. Dirasa tidak ada alasan untuk dia ikut campur dalam masalah ini, Kavi memilih pamit untuk mengurus jenazah Hasta dan Keysha.

“Gue bisa aja ngasih tau Regina soal Hasta,” ujar Adimas dengan penuh percaya diri.

“Tapi gue gak mampu ngasih tau Regina soal Keysha, Van.”

“Gue—”

Obrolan keduanya terputus begitu saja ketika Evan mendapati sebuah panggilan masuk dari Regina.

“Halo?”

”...”

Adimas memperhatikan raut wajah Evan yang seketika berubah menjadi khawatir setelah menutup sambungan telepon itu.

“Kenapa, Van?”

“Regina.”

“Kenapa Regina?”

“Gue mau jadi ayah, Regina mau lahiran, Dim.”

©Pchss

#Yang Patah dan Tumbuh

Tempo langkah kaki Adimas yang asalnya cepat kini mulai melambat. Degup jantungnya kini kian cepat seiring dengan nafasnya yang berhembus tak beraturan. Tubuhnya terpaku kala ia mendapati mobil polisi dan ambulance memadati area depan gedung apartemen. Beberapa kali Adimas menekan nomor Evan pada layar ponselnya pun tidak kunjung mendapat respon. Dengan tergesa, Adimas kini berlari ke dalam gedung apartemen. Menaiki satu persatu anak tangga yang ia yakini bahwa lewat tangga darurat akan lebih cepat sampai ketimbang menggunakan lift.

Adimas kembali terdiam begitu sampai di depan pintu unit apartemen milik Regina yang sudah terpasang garis polisi. Lelaki itu kini berjalan mendekat ke arah Kavi yang nampak sibuk menerima telepon dari seseorang.

“Pak Evan mana?”

Kavi menoleh begitu Adimas memegang pundak dan menyebut namanya. Lelaki itu memutuskan sambungan telepon yang diyakini Adimas dari istrinya Kavi itu.

“Di dalem.”

“Ini kenapa ada banyak polisi? Kenapa ada ambulance juga di bawah?” tanya Adimas dengan nafas yang masih tersendat sendat.

“Itu—”

Belum sempat Kavi menjawab pertanyaan Adimas beberapa petugas keluar dari unit apartemen milik Regina sambil membawa kantung jenazah.

“Kavi, jangan bilang—”

Tidak sampai disitu, petugas lain menyusul dengan satu kantung jenazah lainnya. Membuat Adimas hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya.

“Iya, Dim. Kayak yang lo lihat,” ucap Kavi.

Adimas masih terdiam sampai para petugas itu hilang dari pandangannya. Beberapa detik kemudian nampak Evan keluar dengan seorang polisi. Nampaknya lelaki itu baru saja memberikan keterangan pada pihak polisi. Dengan raut wajah yang sedikit kacau, Evan berjalan mendekat ke arah Adimas dan Kavi setelah selesai berbincang dengan pihak polisi tersebut.

“Van,” panggil Adimas.

“Hasta,” ucap Evan nampak begitu berat untuk melanjutkan ucapannya. Namun setelah lelaki itu menarik nafas cukup panjang dengan tegas ia menjelaskan, “dia kehilangan akal. Dia bunuh keysha—”

Evan menelan susah payah salivanya, “terus dia bunuh diri.”

“Van.”

“Gue gak tau motif dia apa, tapi polisi nemuin ini di saku celana yang dia pake,” lanjut Evan sambil menjulurkan sebuah surat. “Gue gak bisa buka surat ini karena gue rasa gak ada hak. Gue bakalan kasih surat ini ke Regina, Dim. Tapi gue juga gak tau gimana kasih tau Regina soal kejadian hari ini.”

Adimas terdiam, apalagi Kavi. Dirasa tidak ada alasan untuk dia ikut campur dalam masalah ini, Kavi memilih pamit untuk mengurus jenazah Hasta dan Keysha.

“Gue bisa aja ngasih tau Regina soal Hasta,” ujar Adimas dengan penuh percaya diri.

“Tapi gue gak mampu ngasih tau Regina soal Keysha, Van.”

“Gue—”

Obrolan keduanya terputus begitu saja ketika Evan mendapati sebuah panggilan masuk dari Regina.

“Halo?”

”...”

Adimas memperhatikan raut wajah Evan yang seketika berubah menjadi khawatir setelah menutup sambungan telepon itu.

“Kenapa, Van?”

“Regina.”

“Kenapa Regina?”

“Gue mau jadi ayah, Regina mau lahiran, Dim.”

©Pchss

Pelukan hangat yang didapatkan Regina di rumah benar-benar membuat seluruh tubuhnya melemas. Rasanya seluruh beban yang selama ini Regina tanggung sendiri hilang ketika ia mendapat pelukan dari kedua orang tuanya.

“Maafin Gina.”

Meskipun kedua orang tua Regina tau soal kondisinya sekarang, tapi keduanya hanya bisa tersenyum dan mengelus pelan bahu anak perempuan mereka. Walau sebenarnya Regina bisa melihat betul ada sedikit garis kekecewaan di wajah mereka.

“Sini duduk yang bener kasian anakmu,” titah Ibu sambil menarik Regina duduk ke atas sofa.

“Sudah makan?” tanya Papa sambil mengelus rambut Regina penuh kasih sayang.

Gelengan pelan dari Regina menjadi jawaban bahwa wanita itu sama sekali belum memasukkan makanan apapun ke dalam perutnya.

“Bu, ambil makan tolong buat Gina,” titah Papa pada Ibu.

Papa menarik lengannya untuk kemudian mengelus pelan perut Regina yang nampak membesar itu.

“Ini cucu papa udah berapa bulan?”

Regina terdiam, tapi kemudian dia membuka suara walau rasanya sesak dan sedikit diiringi sebuah isakan. “Maju delapan, Pa.”

Seulas senyum muncul di raut wajah Papa. “Sudah besar ya, sebentar lagi lahir. Sehat-sehat terus kamu nanti main sama kakek oke?”

Mendengar hal itu membuat Regina lagi-lagi ingin menangis. Namun kehadiran Ibu membuat Regina kembali menahan air matanya.

“Ibu suapin ya? Aduh anak Ibu udah gede, udah mau jadi Ibu juga.”

Regina menerima suapan demi suapan yang diberikan oleh Ibunya. Meskipun rasanya sakit karena menahan tangis saat makan itu sangat tidak enak.

Belum selesai Regina menghabiskan makanannya sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah. Regina cukup mengenali baik mobil itu. Mobil itu milik Evan.

Begitu Adimas keluar dari dalam mobil dan membuka pagar rumah membuat Regina jadi semakin yakin bahwa omongan Adimas yang hendak menyusulnya itu bukan sekedar omong kosong belaka.

“Eh, nak Adim itu kan? Ibu ke depan dulu sebentar, kamu habisin dulu makan nya.”

Adimas, Kavi, dan terakhir Evan. Tidak ada Hasta disana.

Ketiganya mulai memasuki rumah satu persatu setelah Ibu mempersilahkan ketiganya.

Evan. Regina merindukan sosok itu. Pria yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan raut wajah penuh kegelisahan. Tapi ternyata yang Regina lakukan hanya menepis pandangan, kemudian beralih pada Adimas yang mengambil tempat duduk disampingnya dan mengusak pelan rambut Regina.

“Jelek banget habis mewek.”

“Diem deh!”

Adimas kemudian tertawa lepas. Melihat itu, Evan tentu cemburu. Panas seketika hawa di sekitarnya.

Kavi, tanpa basa-basi langsung menjelaskan tentang apa-apa saja yang baru saja terjadi diantara Regina, Evan dan juga Hasta.

Menurut penuturan Kavi, malam itu Regina dan Evan memang pulang bersama dan berakhir dengan tidur bersama. Sesuai dengan asumsi Regina ataupun Evan, parfum yang tertinggal itu memang milik Regina.

Hasta yang kebetulan mencari keberadaan Evan menemukan bahwa pria itu tertidur tanpa busana di satu kamar hotel bersama dengan seorang wanita yang Hasta ketahui bahwa wanita itu adalah adik tirinya sendiri. Hasta yang memang memiliki dendam pribadi malah memanfaatkan hal itu.

Hasta memesan kamar baru yang bersebelahan tepat di kamar Evan. Hasta juga yang memindahkan Regina yang pada saat itu masih belum sadar karena pengaruh alkohol. Hasta meminta pelayan hotel wanita memakaikan pakaian pada Regina dan melucutinya kembali setelah Regina dipindahkan.

Hasta juga yang menyuruh Kavi untuk mengirim bunga setiap hari ke apartemen juga rumah Evan. Hanya untuk membuat Evan percaya bahwa anak itu bukan anaknya dan membuat Regina tidak akan pernah menemukan ayah dari anak yang sedang dia kandung.

“Maafkan Hasta,” ucap Papa pada Evan dan Regina setelah mendengar semua penuturan dari Kavi.

“Saya yang minta maaf Om, maaf karena lalai dan membuat Regina menderita,” jawab Evan.

“Om tidak pernah tau kenapa Hasta sebegitu membenci Gina sejak dia kecil, Om kecewa dengan Hasta. Om gagal jadi Papa buat anak kandung Om sendiri,” ucap Papa.

“Om, bukan om yang gagal jadi Papa tapi anak om yang gagal jadi anak. Om terbaik pokoknya! Adim ngerasain sendiri kalo nginep disini Adim ngerasa malah yang anak om itu Adim bukan Regina apalagi Hasta! Om is my hero!” ujar Adimas sambil merangkul Papa, berusaha membuat pria paruh baya itu tidak berpikir yang jelek-jelek dan merasa sudah gagal menjadi seorang orang tua.

“Papa, Gina gapapa kok. Gina paham perasaan kak Hasta,” jawab Regina.

Kak Hasta, sudah lama sekali dia tidak memanggil Hasta dengan sebutan kakak.

“Om,” panggil Evan setelah memecah keheningan.

“Kalau boleh saya lancang, izinkan saya untuk menikahi anak om.”

Papa terdiam, seluruh orang disana pun ikut terdiam. Regina tidak mampu memberikan reaksi apapun dan keputusan apapun. Ia hanya bisa memberikan seluruh keputusan mengenai hidupnya pada Papa.

“Silahkan, Papa izinkan.”

Dan ternyata keputusan itu malah membuat Regina sedikit cemas.

©Pchss_

Pelukan hangat yang didapatkan Regina di rumah benar-benar membuat seluruh tubuhnya melemas. Rasanya seluruh beban yang selama ini Regina tanggung sendiri hilang ketika ia mendapat pelukan dari kedua orang tuanya.

“Maafin Gina.”

Meskipun kedua orang tua Regina tau soal kondisinya sekarang, tapi keduanya hanya bisa tersenyum dan mengelus pelan bahu anak perempuan mereka. Walau sebenarnya Regina bisa melihat betul ada sedikit garis kekecewaan di wajah mereka.

“Sini duduk yang bener kasian anakmu,” titah Ibu sambil menarik Regina duduk ke atas sofa.

“Sudah makan?” tanya Papa sambil mengelus rambut Regina penuh kasih sayang.

Gelengan pelan dari Regina menjadi jawaban bahwa wanita itu sama sekali belum memasukkan makanan apapun ke dalam perutnya.

“Bu, ambil makan tolong buat Gina,” titah Papa pada Ibu.

Papa menarik lengannya untuk kemudian mengelus pelan perut Regina yang nampak membesar itu.

“Ini cucu papa udah berapa bulan?”

Regina terdiam, tapi kemudian dia membuka suara walau rasanya sesak dan sedikit diiringi sebuah isakan. “Maju delapan, Pa.”

Seulas senyum muncul di raut wajah Papa. “Sudah besar ya, sebentar lagi lahir. Sehat-sehat terus kamu nanti main sama kakek oke?”

Mendengar hal itu membuat Regina lagi-lagi ingin menangis. Namun kehadiran Ibu membuat Regina kembali menahan air matanya.

“Ibu suapin ya? Aduh anak Ibu udah gede, udah mau jadi Ibu juga.”

Regina menerima suapan demi suapan yang diberikan oleh Ibunya. Meskipun rasanya sakit karena menahan tangis saat makan itu sangat tidak enak.

Belum selesai Regina menghabiskan makanannya sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah. Regina cukup mengenali baik mobil itu. Mobil itu milik Evan.

Begitu Adimas keluar dari dalam mobil dan membuka pagar rumah membuat Regina jadi semakin yakin bahwa omongan Adimas yang hendak menyusulnya itu bukan sekedar omong kosong belaka.

“Eh, nak Adim itu kan? Ibu ke depan dulu sebentar, kamu habisin dulu makan nya.”

Adimas, Kavi, dan terakhir Evan. Tidak ada Hasta disana.

Ketiganya mulai memasuki rumah satu persatu setelah Ibu mempersilahkan ketiganya.

Evan. Regina merindukan sosok itu. Pria yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan raut wajah penuh kegelisahan. Tapi ternyata yang Regina lakukan hanya menepis pandangan, kemudian beralih pada Adimas yang mengambil tempat duduk disampingnya dan mengusak pelan rambut Regina.

“Jelek banget habis mewek.”

“Diem deh!”

Adimas kemudian tertawa lepas. Melihat itu, Evan tentu cemburu. Panas seketika hawa di sekitarnya.

Kavi, tanpa basa-basi langsung menjelaskan tentang apa-apa saja yang baru saja terjadi diantara Regina, Evan dan juga Hasta.

Menurut penuturan Kavi, malam itu Regina dan Evan memang pulang bersama dan berakhir dengan tidur bersama. Sesuai dengan asumsi Regina ataupun Evan, parfum yang tertinggal itu memang milik Regina.

Hasta yang kebetulan mencari keberadaan Evan menemukan bahwa pria itu tertidur tanpa busana di satu kamar hotel bersama dengan seorang wanita yang Hasta ketahui bahwa wanita itu adalah adik tirinya sendiri. Hasta yang memang memiliki dendam pribadi malah memanfaatkan hal itu.

Hasta memesan kamar baru yang bersebelahan tepat di kamar Evan. Hasta juga yang memindahkan Regina yang pada saat itu masih belum sadar karena pengaruh alkohol. Hasta meminta pelayan hotel wanita memakaikan pakaian pada Regina dan melucutinya kembali setelah Regina dipindahkan.

Hasta juga yang menyuruh Kavi untuk mengirim bunga setiap hari ke apartemen juga rumah Evan. Hanya untuk membuat Evan percaya bahwa anak itu bukan anaknya dan membuat Regina tidak akan pernah menemukan ayah dari anak yang sedang dia kandung.

“Maafkan Hasta,” ucap Papa pada Evan dan Regina setelah mendengar semua penuturan dari Kavi.

“Saya yang minta maaf Om, maaf karena lalai dan membuat Regina menderita,” jawab Evan.

“Om tidak pernah tau kenapa Hasta sebegitu membenci Gina sejak dia kecil, Om kecewa dengan Hasta. Om gagal jadi Papa buat anak kandung Om sendiri,” ucap Papa.

“Om, bukan om yang gagal jadi Papa tapi anak om yang gagal jadi anak. Om terbaik pokoknya! Adim ngerasain sendiri kalo nginep disini Adim ngerasa malah yang anak om itu Adim bukan Regina apalagi Hasta! Om is my hero!” ujar Adimas sambil merangkul Papa, berusaha membuat pria paruh baya itu tidak berpikir yang jelek-jelek dan merasa sudah gagal menjadi seorang orang tua.

“Papa, Gina gapapa kok. Gina paham perasaan kak Hasta,” jawab Regina.

Kak Hasta, sudah lama sekali dia tidak memanggil Hasta dengan sebutan kakak.

“Om,” panggil Evan setelah memecah keheningan.

“Kalau boleh saya lancang, izinkan saya untuk menikahi anak om.”

Papa terdiam, seluruh orang disana pun ikut terdiam. Regina tidak mampu memberikan reaksi apapun dan keputusan apapun. Ia hanya bisa memberikan seluruh keputusan mengenai hidupnya pada Papa.

“Silahkan, Papa izinkan.”

Dan ternyata keputusan itu malah membuat Regina sedikit cemas.

©Pchss_