152
Sejak Pram menginjakkan kaki di studio milik Rama rasa gelisah dan canggung langsung melingkupinya. Pram melirik ke arah laki-laki yang tengah duduk sambil memainkan ponselnya kemudian mengambil tempat duduk tepat di samping Ezra. Pram lebih memilih duduk di samping Ezra ketimbang harus duduk di samping Arga yang masih mendiamkannya sejak insiden kaburnya Luna.
Pada awalnya Pram mengernyit bingung ketika melihat baju yang dipakai oleh ketiga teman-temannya. Arga, Ezra dan Rama sama-sama memakai baju yang sedikit formal berwarna hitam. Namun beberapa detik kemudian Pram ingat. Bahwa hari ini adalah hari peringatan kematian Amara.
Lagi, Pram tidak pernah ikut bersama teman-temannya untuk nyekar ke makam Amara. Alasannya cukup jelas, Arga tidak mengizinkannya.
“Kopi gak lo?” tanya Rama. Pram menggeleng pelan setelah itu mengeluarkan rokok dari dalam saku celana jeans nya.
“Loh aing kira maneh udah gak sebat?” tanya Ezra.
“Kali-kali doang,” jawabnya santai sambil mematik korek api.
Dari arah bersebrangan Arga menatap Pram dengan tatapan yang cukup tidak menyenangkan. Pram menyadari hal itu namun tidak ia pedulikan sama sekali.
“Adek gue dimana?” tanya Arga spontan.
Pram menaikkan sebelah alisnya sambil menghembuskan asap rokok sembarangan, “mana gue tau?”
“Terakhir kan dia sama lo, gue yakin lo tau kemana adek gue.”
Lagi, Pram hanya mengedikkan bahunya meskipun pada kenyataannya Pram tau dimana keberadaan Luna. Ia sudah berjanji pada gadis itu untuk tidak memberitahu dimana Luna berada.
Namun respon Arga tidak sesuai dengan apa yang Pram kira, laki-laki itu malah beranjak dari tempat duduknya kemudian menarik kerah kaos yang dikenakan Pram, “Lo jangan nguji kesabaran gue!”
“EH JANGAN GELUD ATUH!” Pisah Ezra, walau kenyataannya Ezra tidak bisa memisahkan dua orang itu. Keduanya sama-sama terlalu kuat.
“RAMA ATUH AI SIA BANTUAN AING!” Rama hanya terdiam meskipun Ezra dari tadi sibuk meneriakinya dengan sumpah serapah karena membiarkan Arga dan Pram berseteru sampai akan saling adu jotos itu.
“Lepasin, Ja. Biarin aja,” jawab Rama. Pada akhirnya Ezra hanya bisa melepaskan keduanya sambil mengacak rambutnya frustasi.
“Lo gak ada hak buat tau dimana Luna, Ga.”
Arga semakin memanas, laki-laki itu bersiap untuk menghajar Pram yang sejak tadi tidak melawan sedikitpun. Bahkan rokok yang baru saja Pram nyalakan itu kini tergeletak di atas lantai studio begitu saja.
“Bangsat!”
Arga akhirnya melepaskan cengkraman tangannya dari Pram serta menurunkan kepalan tangannya yang tadi bersiap menghajar Pram habis-habisan. Namun Arga lebih memilih pergi meninggalkan tempat itu.
©Pchss, 2023