95
Malam itu jalanan nampak cukup ramai, banyak orang berlalu lalang. Pram baru saja menghentikan motornya tepat di depan kedai dimsum yang ada di daerah Dipatiukur. Kedai dimsum yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil itu pun nampak ramai.
Setelah Pram meletakkan helm miliknya ke atas motor dan sedikit merapihkan rambutnya ia kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam kedai dimsum tersebut. Matanya berpendar sejenak setelah ia melangkahkan kakinya memasuki kedai itu. Sampai akhirnya pandangan Pram berhenti pada punggung seorang laki-laki lain yang nampak tengah meneguk es kopi dan dilanjutkan dengan menghisap rokok yang ada di tangannya.
Dengan langkah pasti Pram mengambil tempat duduk tepat di depan laki-laki yang ia yakini adalah Gemma Radian Anggara itu.
“Eh, Pram ya?” Tanya Gemma, Pram mengangguk pelan.
“Nyebat gak?” Tanya Gemma, lagi.
“Nanti aja, bang,” tolak Pram dengan halus.
“Gak usah pesen, udah gue pesenin. Suka es kopi juga gak?”
Pram mengangguk, “makasih, bang.”
Gemma menaik turunkan kedua alisnya seraya meneguk es kopinya lagi. Setelah itu Gemma mematikan puntung rokoknya dan mulai fokus pada Pram.
“Mulai dari mana yah? Hm, bentar,” ucap Gemma nampak tengah berpikir keras.
“Santai aja bang.”
“Gue bukan pacarnya luna, gue sepupunya luna,” ucap Gemma.
Pram sebenarnya tidak terlalu kaget karena sebelumnya ia sudah mengira soal hal ini setelah berbicara dengan Rama perihal nama akhir Gemma itu. Namun hal yang membuat Pram cukup kaget adalah kalimat yang Gemma lontarkan selanjutnya.
“Lo tau bapaknya si arga? Itu juga bukan bapak kandungnya, itu bapak gue.”
Percakapan keduanya sempat terhenti saat pelayan membawa nampan berisi beberapa jenis dimsum dan es kopi yang sudah Gemma pesan sebelumnya untuk Pram. Setelah mengucapkan terimakasih pada pelayan kedai tersebut Gemma kembali melanjutkan obrolan mereka yang sempat terhenti itu.
“Pram sorry ya gue sebenernya gak berhak buat cerita ini ke lo, tapi menurut gue Arga juga udah cukup keterlaluan,” ucap Gemma dan Pram hanya mengangguk.
“Bang, kalo gak memungkinkan buat cerita gapapa.”
“Santai. Orang tua Arga sama Luna itu udah meninggal waktu mereka duduk di bangku SMP kelas 3. Karena ibu mereka gak punya kerabat dekat dan kerabat dari pihak ayahnya cuman punya bokap gue jadinya bokap gue yang ngurus mereka sampe sekarang. Tapi karena urusan bokap nyokap gue kebanyakan ada di Paris makanya Luna ikut ke Paris waktu SMA kelas dua belas.”
Sesekali percakapan mereka terhenti karena jujur Gemma tidak bisa membiarkan dimsum yang dia pesan dingin begitu saja.
“Arga juga sebenernya udah diajak sama orang tua gue cuman dia gak mau. Dia gak mau ninggalin rumah di Bandung karena dia bilang terlalu banyak kenangan sama orang tua mereka. Mungkin ya Pram, hal itu juga yang bikin Pram jadi overprotective sama Luna. Pram cuman punya Luna di dunia ini.”
Pram terdiam, mendengar hal itu sekarang dia tau seberapa besar rasa sayang Arga terhadap kembarannya.
“Arga juga memang anaknya terlalu tertutup, gue yang kakak sepupunya aja gak tau apa apa soal anak itu.”
Gemma kembali menyuap sepotong dimsum ke dalam mulutnya, “sambil makan, Pram.”
“Iya, bang.”
“Arga paling gak suka soal taruhan, Luna dulu pernah jadi bahan taruhan waktu masih SMA. Yang mungkin hal itu juga yang bikin Luna milih ikut bokap nyokap gue ke Paris, dan milih buat ikut kursus baking dari pada lanjut kuliah. Hal itu juga yang bikin Arga jadi makin protektif sama Luna soal masalah cowok.”
Pernyataan yang dilontarkan oleh Gemma kali itu membuat Pram benar-benar terdiam. Pram masih belum memberikan respon apapun, ia hanya bisa menatap ke arah gelas berisi es kopi yang mana es-nya mulai mencair itu.
“Pram?”
Pram mendongak, ia memberanikan diri untuk menatap ke arah Gemma.
“Bang, gue pernah terlibat taruhan soal cewek.”
©Pchss_