Papa

Pelukan hangat yang didapatkan Regina di rumah benar-benar membuat seluruh tubuhnya melemas. Rasanya seluruh beban yang selama ini Regina tanggung sendiri hilang ketika ia mendapat pelukan dari kedua orang tuanya.

“Maafin Gina.”

Meskipun kedua orang tua Regina tau soal kondisinya sekarang, tapi keduanya hanya bisa tersenyum dan mengelus pelan bahu anak perempuan mereka. Walau sebenarnya Regina bisa melihat betul ada sedikit garis kekecewaan di wajah mereka.

“Sini duduk yang bener kasian anakmu,” titah Ibu sambil menarik Regina duduk ke atas sofa.

“Sudah makan?” tanya Papa sambil mengelus rambut Regina penuh kasih sayang.

Gelengan pelan dari Regina menjadi jawaban bahwa wanita itu sama sekali belum memasukkan makanan apapun ke dalam perutnya.

“Bu, ambil makan tolong buat Gina,” titah Papa pada Ibu.

Papa menarik lengannya untuk kemudian mengelus pelan perut Regina yang nampak membesar itu.

“Ini cucu papa udah berapa bulan?”

Regina terdiam, tapi kemudian dia membuka suara walau rasanya sesak dan sedikit diiringi sebuah isakan. “Maju delapan, Pa.”

Seulas senyum muncul di raut wajah Papa. “Sudah besar ya, sebentar lagi lahir. Sehat-sehat terus kamu nanti main sama kakek oke?”

Mendengar hal itu membuat Regina lagi-lagi ingin menangis. Namun kehadiran Ibu membuat Regina kembali menahan air matanya.

“Ibu suapin ya? Aduh anak Ibu udah gede, udah mau jadi Ibu juga.”

Regina menerima suapan demi suapan yang diberikan oleh Ibunya. Meskipun rasanya sakit karena menahan tangis saat makan itu sangat tidak enak.

Belum selesai Regina menghabiskan makanannya sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah. Regina cukup mengenali baik mobil itu. Mobil itu milik Evan.

Begitu Adimas keluar dari dalam mobil dan membuka pagar rumah membuat Regina jadi semakin yakin bahwa omongan Adimas yang hendak menyusulnya itu bukan sekedar omong kosong belaka.

“Eh, nak Adim itu kan? Ibu ke depan dulu sebentar, kamu habisin dulu makan nya.”

Adimas, Kavi, dan terakhir Evan. Tidak ada Hasta disana.

Ketiganya mulai memasuki rumah satu persatu setelah Ibu mempersilahkan ketiganya.

Evan. Regina merindukan sosok itu. Pria yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan raut wajah penuh kegelisahan. Tapi ternyata yang Regina lakukan hanya menepis pandangan, kemudian beralih pada Adimas yang mengambil tempat duduk disampingnya dan mengusak pelan rambut Regina.

“Jelek banget habis mewek.”

“Diem deh!”

Adimas kemudian tertawa lepas. Melihat itu, Evan tentu cemburu. Panas seketika hawa di sekitarnya.

Kavi, tanpa basa-basi langsung menjelaskan tentang apa-apa saja yang baru saja terjadi diantara Regina, Evan dan juga Hasta.

Menurut penuturan Kavi, malam itu Regina dan Evan memang pulang bersama dan berakhir dengan tidur bersama. Sesuai dengan asumsi Regina ataupun Evan, parfum yang tertinggal itu memang milik Regina.

Hasta yang kebetulan mencari keberadaan Evan menemukan bahwa pria itu tertidur tanpa busana di satu kamar hotel bersama dengan seorang wanita yang Hasta ketahui bahwa wanita itu adalah adik tirinya sendiri. Hasta yang memang memiliki dendam pribadi malah memanfaatkan hal itu.

Hasta memesan kamar baru yang bersebelahan tepat di kamar Evan. Hasta juga yang memindahkan Regina yang pada saat itu masih belum sadar karena pengaruh alkohol. Hasta meminta pelayan hotel wanita memakaikan pakaian pada Regina dan melucutinya kembali setelah Regina dipindahkan.

Hasta juga yang menyuruh Kavi untuk mengirim bunga setiap hari ke apartemen juga rumah Evan. Hanya untuk membuat Evan percaya bahwa anak itu bukan anaknya dan membuat Regina tidak akan pernah menemukan ayah dari anak yang sedang dia kandung.

“Maafkan Hasta,” ucap Papa pada Evan dan Regina setelah mendengar semua penuturan dari Kavi.

“Saya yang minta maaf Om, maaf karena lalai dan membuat Regina menderita,” jawab Evan.

“Om tidak pernah tau kenapa Hasta sebegitu membenci Gina sejak dia kecil, Om kecewa dengan Hasta. Om gagal jadi Papa buat anak kandung Om sendiri,” ucap Papa.

“Om, bukan om yang gagal jadi Papa tapi anak om yang gagal jadi anak. Om terbaik pokoknya! Adim ngerasain sendiri kalo nginep disini Adim ngerasa malah yang anak om itu Adim bukan Regina apalagi Hasta! Om is my hero!” ujar Adimas sambil merangkul Papa, berusaha membuat pria paruh baya itu tidak berpikir yang jelek-jelek dan merasa sudah gagal menjadi seorang orang tua.

“Papa, Gina gapapa kok. Gina paham perasaan kak Hasta,” jawab Regina.

Kak Hasta, sudah lama sekali dia tidak memanggil Hasta dengan sebutan kakak.

“Om,” panggil Evan setelah memecah keheningan.

“Kalau boleh saya lancang, izinkan saya untuk menikahi anak om.”

Papa terdiam, seluruh orang disana pun ikut terdiam. Regina tidak mampu memberikan reaksi apapun dan keputusan apapun. Ia hanya bisa memberikan seluruh keputusan mengenai hidupnya pada Papa.

“Silahkan, Papa izinkan.”

Dan ternyata keputusan itu malah membuat Regina sedikit cemas.

©Pchss_