#Yang Patah dan Tumbuh
Tempo langkah kaki Adimas yang asalnya cepat kini mulai melambat. Degup jantungnya kini kian cepat seiring dengan nafasnya yang berhembus tak beraturan. Tubuhnya terpaku kala ia mendapati mobil polisi dan ambulance memadati area depan gedung apartemen. Beberapa kali Adimas menekan nomor Evan pada layar ponselnya pun tidak kunjung mendapat respon. Dengan tergesa, Adimas kini berlari ke dalam gedung apartemen. Menaiki satu persatu anak tangga yang ia yakini bahwa lewat tangga darurat akan lebih cepat sampai ketimbang menggunakan lift.
Adimas kembali terdiam begitu sampai di depan pintu unit apartemen milik Regina yang sudah terpasang garis polisi. Lelaki itu kini berjalan mendekat ke arah Kavi yang nampak sibuk menerima telepon dari seseorang.
“Pak Evan mana?”
Kavi menoleh begitu Adimas memegang pundak dan menyebut namanya. Lelaki itu memutuskan sambungan telepon yang diyakini Adimas dari istrinya Kavi itu.
“Di dalem.”
“Ini kenapa ada banyak polisi? Kenapa ada ambulance juga di bawah?” tanya Adimas dengan nafas yang masih tersendat sendat.
“Itu—”
Belum sempat Kavi menjawab pertanyaan Adimas beberapa petugas keluar dari unit apartemen milik Regina sambil membawa kantung jenazah.
“Kavi, jangan bilang—”
Tidak sampai disitu, petugas lain menyusul dengan satu kantung jenazah lainnya. Membuat Adimas hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya.
“Iya, Dim. Kayak yang lo lihat,” ucap Kavi.
Adimas masih terdiam sampai para petugas itu hilang dari pandangannya. Beberapa detik kemudian nampak Evan keluar dengan seorang polisi. Nampaknya lelaki itu baru saja memberikan keterangan pada pihak polisi. Dengan raut wajah yang sedikit kacau, Evan berjalan mendekat ke arah Adimas dan Kavi setelah selesai berbincang dengan pihak polisi tersebut.
“Van,” panggil Adimas.
“Hasta,” ucap Evan nampak begitu berat untuk melanjutkan ucapannya. Namun setelah lelaki itu menarik nafas cukup panjang dengan tegas ia menjelaskan, “dia kehilangan akal. Dia bunuh keysha—”
Evan menelan susah payah salivanya, “terus dia bunuh diri.”
“Van.”
“Gue gak tau motif dia apa, tapi polisi nemuin ini di saku celana yang dia pake,” lanjut Evan sambil menjulurkan sebuah surat. “Gue gak bisa buka surat ini karena gue rasa gak ada hak. Gue bakalan kasih surat ini ke Regina, Dim. Tapi gue juga gak tau gimana kasih tau Regina soal kejadian hari ini.”
Adimas terdiam, apalagi Kavi. Dirasa tidak ada alasan untuk dia ikut campur dalam masalah ini, Kavi memilih pamit untuk mengurus jenazah Hasta dan Keysha.
“Gue bisa aja ngasih tau Regina soal Hasta,” ujar Adimas dengan penuh percaya diri.
“Tapi gue gak mampu ngasih tau Regina soal Keysha, Van.”
“Gue—”
Obrolan keduanya terputus begitu saja ketika Evan mendapati sebuah panggilan masuk dari Regina.
“Halo?”
”...”
Adimas memperhatikan raut wajah Evan yang seketika berubah menjadi khawatir setelah menutup sambungan telepon itu.
“Kenapa, Van?”
“Regina.”
“Kenapa Regina?”
“Gue mau jadi ayah, Regina mau lahiran, Dim.”
©Pchss