Pchss

“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”

Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.

Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.

“Bina, jangan ngeyel deh!”

Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.

“Bentar, ambil jaket dulu.”

Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.

“Pake, dingin diluar.”

Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.

Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.

“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”

Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.

“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”

Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.

Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

“SADENA! BANGUN SADENA!”

Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.

Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.

“SADENA!”

“B-bina, c-cantik.”

Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.

“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”

“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.

“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”

“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”

Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.

“SADENA!”

Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.

“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”

Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.

“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”

Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.

“Sabrina, dengerin gue.”

“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”

“Bina ikhlas yah?—”

”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”

“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”

Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.

Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.

“Bina, jangan ngeyel deh!”

Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.

“Bentar, ambil jaket dulu.”

Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.

“Pake, dingin diluar.”

Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.

Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.

“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”

Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.

“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”

Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.

Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

“SADENA! BANGUN SADENA!”

Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.

Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.

“SADENA!”

“B-bina, c-cantik.”

Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.

“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”

“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.

“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”

“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”

Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.

“SADENA!”

Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.

“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”

Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.

“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”

Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.

“Sabrina, dengerin gue.”

“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”

“Bina ikhlas yah?—”

”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”

“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”

Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.

Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.

“Bina, jangan ngeyel deh!”

Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.

“Bentar, ambil jaket dulu.”

Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.

“Pake, dingin diluar.”

Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.

Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.

“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”

Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.

“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”

Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.

Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

“SADENA! BANGUN SADENA!”

Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.

Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.

“SADENA!”

“B-bina, c-cantik.”

Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.

“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”

“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.

“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”

“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”

Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.

“SADENA!”

Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.

“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”

Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.

“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”

Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.

“Sabrina, dengerin gue.”

“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”

“Bina ikhlas yah?—”

”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”

A great big bang and dinosaurs. Fiery raining meteors. It all ends unfortunately. But you're gonna live forever in me

Dingin langsung menusuk kulit Sabrina saat cewek itu baru saja turun dari vespa baru milik Sadena. Fyi, plastik penutup jok vespa-nya aja belum di lepas katanya, “biar kelihatan barunya.” Memang Sadena ini doyan banget pamer.

“Mau jajan apa?”

Sadena sebenarnya mengajak Sabrina ke daerah pegunungan gitu. Tapi tempatnya ramai, banyak pengunjung dari berbagai kalangan usia. Ada banyak warung-warung di pinggir jalannya menjajakkan berbagai macam kuliner. Kebanyakan dari mereka menjajakan makanan hangat berkuah.

I guarantee, just wait and see. Parts of me were made by you. And planets keep their distance too. The moon's got a grip on the sea. And you're gonna live forever in me

“Apa yah. Bingung deh.”

Sadena terdiam sejenak, matanya mengamati dari ujung ke ujung warung yang berjejer rapih disepanjang jalanan.

“Bubur kacang mau gak?”

I guarantee, it's your destiny. Life is full of sweet mistakes. And love's an honest one to make. Time leaves no fruit on the tree

Sabrina mengangguk. Tidak masalah dengan ajakan Sadena. Sabrina juga bukan tipe cewek yang harus banget makan di tempat mewah dan makan makanan yang harganya mahal.

“Mau banget.”

Dua mangkuk bubur kacang serta teh hangat manis menjadi teman mengobrol mereka malam ini. Tempat duduk yang kebetulan ada di bagian luar warung membuat keduanya bisa menikmati bubur kacang sambil memandangi city light yang nampak terang di bawah mereka. Serta bintang yang kebetulan nampak bersinar jelas karena malam ini cukup cerah.

But you're gonna live forever in me. I guarantee, it's just meant to be. And when the pastor asks the pews. For reasons he can't marry you.

“Nama tengah gue altair, tapi gue gak pernah tau gimana bentuk bintang altair,” ucap Sadena sambil mendongak.

Sabrina ikut mendongak, memandangi hamparan bintang yang nampak sama satu sama lainnya.

“Gue juga. Tapi katanya Summer Triangle itu bakalan ngebentuk segitiga. Gimana yah, mau dicari juga susah ketumpuk sama bintang yang lain,” ucap Sabrina.

“Gampang sih kalo mau lihat sunmer triangle,” ujar Sadena sambil mengaduk bubur kacangnya.

“Gimana?”

“Lo ajak aja si Saga, terus kita berdiri ngebentuk segitiga. Jadi deh!”

Sabrina memukul pelan bahu Sadena, “bodo amat!”

“HAHAHA. Bener heh, kan kita bertiga emang bagian dari sunmer triangle.”

Sabrina hanya mengangguk pelan menanggapinya.

I'll keep my word and my seat. But you're gonna live forever in me.

“Sabrina, lo beneran gak mau jadi pacar gue yah?”

I guarantee, just wait and see

A great big bang and dinosaurs. Fiery raining meteors. It all ends unfortunately. But you're gonna live forever in me

Dingin langsung menusuk kulit Sabrina saat cewek itu baru saja turun dari vespa baru milik Sadena. Fyi, plastik penutup jok vespa-nya aja belum di lepas katanya, “biar kelihatan barunya.” Memang Sadena ini doyan banget pamer.

“Mau jajan apa?”

Sadena sebenarnya mengajak Sabrina ke daerah pegunungan gitu. Tapi tempatnya ramai, banyak pengunjung dari berbagai kalangan usia. Ada banyak warung-warung di pinggir jalannya menjajakkan berbagai macam kuliner. Kebanyakan dari mereka menjajakan makanan hangat berkuah.

I guarantee, just wait and see. Parts of me were made by you. And planets keep their distance too. The moon's got a grip on the sea. And you're gonna live forever in me

“Apa yah. Bingung deh.”

Sadena terdiam sejenak, matanya mengamati dari ujung ke ujung warung yang berjejer rapih disepanjang jalanan.

“Bubur kacang mau gak?”

I guarantee, it's your destiny. Life is full of sweet mistakes. And love's an honest one to make. Time leaves no fruit on the tree

Sabrina mengangguk. Tidak masalah dengan ajakan Sadena. Sabrina juga bukan tipe cewek yang harus banget makan di tempat mewah dan makan makanan yang harganya mahal.

“Mau banget.”

Dua mangkuk bubur kacang serta teh hangat manis menjadi teman mengobrol mereka malam ini. Tempat duduk yang kebetulan ada di bagian luar warung membuat keduanya bisa menikmati bubur kacang sambil memandangi city light yang nampak terang di bawah mereka. Serta bintang yang kebetulan nampak bersinar jelas karena malam ini cukup cerah.

But you're gonna live forever in me. I guarantee, it's just meant to be. And when the pastor asks the pews. For reasons he can't marry you.

“Nama tengah gue altair, tapi gue gak pernah tau gimana bentuk bintang altair,” ucap Sadena sambil mendongak.

Sabrina ikut mendongak, memandangi hamparan bintang yang nampak sama satu sama lainnya.

“Gue juga. Tapi katanya Summer Triangle itu bakalan ngebentuk segitiga. Gimana yah, mau dicari juga susah ketumpuk sama bintang yang lain,” ucap Sabrina.

“Gampang sih kalo mau lihat sunmer triangle,” ujar Sadena sambil mengaduk bubur kacangnya.

“Gimana?”

“Lo ajak aja si Saga, terus kita berdiri ngebentuk segitiga. Jadi deh!”

Sabrina memukul pelan bahu Sadena, “bodo amat!”

“HAHAHA. Bener heh, kan kita bertiga emang bagian dari sunmer triangle.”

Sabrina hanya mengangguk pelan menanggapinya.

I'll keep my word and my seat. But you're gonna live forever in me.

“Sabrina, lo beneran gak mau jadi pacar gue yah?”

I guarantee, just wait and see

A great big bang and dinosaurs. Fiery raining meteors. It all ends unfortunately. But you're gonna live forever in me

Dingin langsung menusuk kulit Sabrina saat cewek itu baru saja turun dari vespa baru milik Sadena. Fyi, plastik penutup jok vespa-nya aja belum di lepas katanya, “biar kelihatan barunya.” Memang Sadena ini doyan banget pamer.

“Mau jajan apa?”

Sadena sebenarnya mengajak Sabrina ke daerah pegunungan gitu. Tapi tempatnya ramai, banyak pengunjung dari berbagai kalangan usia. Ada banyak warung-warung di pinggir jalannya menjajakkan berbagai macam kuliner. Kebanyakan dari mereka menjajakan makanan hangat berkuah.

I guarantee, just wait and see. Parts of me were made by you. And planets keep their distance too. The moon's got a grip on the sea. And you're gonna live forever in me

“Apa yah. Bingung deh.”

Sadena terdiam sejenak, matanya mengamati dari ujung ke ujung warung yang berjejer rapih disepanjang jalanan.

“Bubur kacang mau gak?”

I guarantee, it's your destiny. Life is full of sweet mistakes. And love's an honest one to make. Time leaves no fruit on the tree

Sabrina mengangguk. Tidak masalah dengan ajakan Sadena. Sabrina juga bukan tipe cewek yang harus banget makan di tempat mewah dan makan makanan yang harganya mahal.

“Mau banget.”

Dua mangkuk bubur kacang serta teh hangat manis menjadi teman mengobrol mereka malam ini. Tempat duduk yang kebetulan ada di bagian luar warung membuat keduanya bisa menikmati bubur kacang sambil memandangi city light yang nampak terang di bawah mereka. Serta bintang yang kebetulan nampak bersinar jelas karena malam ini cukup cerah.

But you're gonna live forever in me. I guarantee, it's just meant to be. And when the pastor asks the pews. For reasons he can't marry you.

“Nama tengah gue altair, tapi gue gak pernah tau gimana bentuk bintang altair,” ucap Sadena sambil mendongak.

Sabrina ikut mendongak, memandangi hamparan bintang yang nampak sama satu sama lainnya.

“Gue juga. Tapi katanya Summer Triangle itu bakalan ngebentuk segitiga. Gimana yah, mau dicari juga susah ketumpuk sama bintang yang lain,” ucap Sabrina.

“Gampang sih kalo mau lihat sunmer triangle,” ujar Sadena sambil mengaduk bubur kacangnya.

“Gimana?”

“Lo ajak aja si Saga, terus kita berdiri ngebentuk segitiga. Jadi deh!”

Sabrina memukul pelan bahu Sadena, “bodo amat!”

“HAHAHA. Bener heh, kan kita bertiga emang bagian dari sunmer triangle.”

Sabrina hanya mengangguk pelan menanggapinya.

I'll keep my word and my seat. But you're gonna live forever in me.

“Sabrina, lo beneran gak mau jadi pacar gue yah?”

I guarantee, just wait and see

A great big bang and dinosaurs. Fiery raining meteors. It all ends unfortunately. But you're gonna live forever in me

Dingin langsung menusuk kulit Sabrina saat cewek itu baru saja turun dari vespa baru milik Sadena. Fyi, plastik penutup jok vespa-nya aja belum di lepas katanya, “biar kelihatan barunya.” Memang Sadena ini doyan banget pamer.

“Mau jajan apa?”

Sadena sebenarnya mengajak Sabrina ke daerah pegunungan gitu. Tapi tempatnya ramai, banyak pengunjung dari berbagai kalangan usia. Ada banyak warung-warung di pinggir jalannya menjajakkan berbagai macam kuliner. Kebanyakan dari mereka menjajakan makanan hangat berkuah.

I guarantee, just wait and see. Parts of me were made by you. And planets keep their distance too. The moon's got a grip on the sea. And you're gonna live forever in me

I guarantee, it's your destiny. Life is full of sweet mistakes. And love's an honest one to make. Time leaves no fruit on the tree

But you're gonna live forever in me. I guarantee, it's just meant to be. And when the pastor asks the pews. For reasons he can't marry you.

I'll keep my word and my seat. But you're gonna live forever in me

I guarantee, just wait and see

#Bubur Kacang

A great big bang and dinosaurs. Fiery raining meteors. It all ends unfortunately. But you're gonna live forever in me

Dingin langsung menusuk kulit Sabrina saat cewek itu baru saja turun dari vespa baru milik Sadena. Fyi, plastik penutup jok vespa-nya aja belum di lepas katanya, “biar kelihatan barunya.” Memang Sadena ini doyan banget pamer.

“Mau jajan apa?”

Sadena sebenarnya mengajak Sabrina ke daerah pegunungan gitu. Tapi tempatnya ramai, banyak pengunjung dari berbagai kalangan usia. Ada banyak warung-warung di pinggir jalannya menjajakkan berbagai macam kuliner. Kebanyakan dari mereka menjajakan makanan hangat berkuah.

I guarantee, just wait and see. Parts of me were made by you. And planets keep their distance too. The moon's got a grip on the sea. And you're gonna live forever in me

I guarantee, it's your destiny. Life is full of sweet mistakes. And love's an honest one to make. Time leaves no fruit on the tree

But you're gonna live forever in me. I guarantee, it's just meant to be. And when the pastor asks the pews. For reasons he can't marry you.

I'll keep my word and my seat. But you're gonna live forever in me

I guarantee, just wait and see

I can't show you how to love yourself

Sabrina meraih es krim yang baru saja diberikan oleh Sadena. Keduanya duduk di tepian jalanan, di atas trotoar. Sambil menikmati dinginnya udara malam dan es krim yang bisa saja membekukan kepala mereka.

“Ayo lomba.”

Sadena menoleh ke arah Sabrina, “lomba apa?”.

But I promise you. I'll be the one by your side. I won't tell you the truth about love

“Hitung mobil, gue warna item lo warna putih,” jawab Sabrina. Masih belum memalingkan wajahnya dari jalanan.

“Curang! Mobil item kan lebih sering lewat dari pada mobil putih,” sahut cowok itu. Tidak terima.

It's so difficult for me

“Emang itu tujuannya, biar lo kalah.”

Sadena menggeleng pelan, “terus kalo menang hadiahnya apa?”

Sabrina nampak berdeham pelan, kemudian menolehkan kepalanya ke arah kanan. Tepat pada Sadena yang juga tengah menatapnya dengan jarak yang bisa dibilang sedikit pendek.

Babe, I don't want you to get hurt

Sabrina terdiam, nampak terkejut karena mendapati wajah Sadena yang begitu dekat dengannya.

Gadis itu mengalihkan pandangannya lagi, seraya mengatur gelombang aneh yang baru saja menghampiri dadanya.

“Kalo menang, lo harus turutin kemauan gue. Apapun itu,” jawab Sabrina.

Sadena nampak tertantang, kemudian ia mengangguk pelan.

When I first met you, I knew that we can be. Together forever. Night we spent so long. Until you're asleep On my lip

Jalanan yang memang tidak terlalu ramai itu membuat Sadena dan Sabrina jadi lebih mudah untuk menghitung banyaknya mobil yang lalu lalang di hadapan mereka. Maklum, mereka hanya duduk di trotoar jalan komplek rumah. Kalo di jalan raya takutnya di sangka gembel.

“Tujuh.”

“Tiga, TUH KAN UDAH GUE BILANG MOBIL PUTIH TUH JARANG LEWAT!” sungut Sadena yang lama-lama malah kesal karena mobil berwarna putih jarang sekali muncul di hadapan mereka.

'Cause I, I've been waiting. For this so long, oh, long. And I, I Will always keep you safe.

Sadena kemudian mengeluarkan sebuah earphone dari kantung jaketnya. Menyambungkan benda tersebut pada ponselnya kemudian memberikan salah satunya pada Sabrina.

“Ini punya bang Arga kan?” tanya Sabrina.

Earphone berwarna putih, pasti milik Arganata. Cowok itu memang lebih senang menggunakan earphone ketimbang airpods. Pasalnya, cowok itu sering kali kehilangan benda itu.

“Iya, sengaja gue bawa. Biar bang Arga kesel setengah mampus nyariin earphone kesayangan dia,” jawab Sadena diakhiri dengan tawa.

If we ever get into a fight. Listen to me, babe. Don't let it take over us. If you miss the way we used to be. Put us on the phone, instead. Of you just cryin' all night.

“Adek biadab lo.”

Sadena hanya mengedikkan bahunya. Cowok itu kemudian memainkan sebuah lagu dari playlistnya. Keep you safe, menjadi judul lagu pertama yang keduanya dengarkan.

“Sebelas.”

“Dua belas.”

“Ish! Gue masih lima!” keluh Sadena.

When I first met you. I knew that we can be. Together forever. Night we spent so long. Until you're asleep. On my lip

Nampaknya lagu yang diputar lebih menarik ketimbang mobil-mobil yang berlalu lalang di hadapan Sabrina. Gadis itu memejamkan matanya, menikmati alunan melodi yang keluar setiap detiknya.

“Lima belas.”

Sabrina membuka matanya pelan, “loh, kok udah lima belas lagi?”

Sadena mengedikkan bahunya, lagi. “Tadi banyak mobil putih lewat. Lo nya aja yang gak liat.”

“Lo bohong yah?!”

“Dih, kagak! Beneran lewat, Bina.”

Sabrina terdiam membiarkan Sadena menang atas statement yang dia buat. Bait lagu terakhir selesai dinyanyikan. Dan saat itu juga perlombaan yang mereka gelar selesai.

“Gue menang,” ucap Sadena.

“Curang.”

“Lo yang curang! Dari awal sengaja milih mobil warna item. Jelek ah, gak like gue!”

Sabrina terkekeh pelan, “ya udah. Lo menang. Sekarang lo sebutin permintaan lo.”

Sadena tersenyum lebar atas kemenangannya. Kemudian cowok itu mendekat ke arah Sabrina dan mengecup pelan pipi gadis itu.

'Cause I, I've been waiting. For this so long, oh, long And I

“Be mine, Sabrina.”

I will always keep you safe

I can't show you how to love yourself

Sabrina meraih es krim yang baru saja diberikan oleh Sadena. Keduanya duduk di tepian jalanan, di atas trotoar. Sambil menikmati dinginnya udara malam dan es krim yang bisa saja membekukan kepala mereka.

“Ayo lomba.”

Sadena menoleh ke arah Sabrina, “lomba apa?”.

But I promise you. I'll be the one by your side. I won't tell you the truth about love

“Hitung mobil, gue warna item lo warna putih,” jawab Sabrina. Masih belum memalingkan wajahnya dari jalanan.

“Curang! Mobil item kan lebih sering lewat dari pada mobil putih,” sahut cowok itu. Tidak terima.

It's so difficult for me

“Emang itu tujuannya, biar lo kalah.”

Sadena menggeleng pelan, “terus kalo menang hadiahnya apa?”

Sabrina nampak berdeham pelan, kemudian menolehkan kepalanya ke arah kanan. Tepat pada Sadena yang juga tengah menatapnya dengan jarak yang bisa dibilang sedikit pendek.

Babe, I don't want you to get hurt

Sabrina terdiam, nampak terkejut karena mendapati wajah Sadena yang begitu dekat dengannya.

Gadis itu mengalihkan pandangannya lagi, seraya mengatur gelombang aneh yang baru saja menghampiri dadanya.

“Kalo menang, lo harus turutin kemauan gue. Apapun itu,” jawab Sabrina.

Sadena nampak tertantang, kemudian ia mengangguk pelan.

When I first met you, I knew that we can be. Together forever. Night we spent so long. Until you're asleep On my lip

Jalanan yang memang tidak terlalu ramai itu membuat Sadena dan Sabrina jadi lebih mudah untuk menghitung banyaknya mobil yang lalu lalang di hadapan mereka. Maklum, mereka hanya duduk di trotoar jalan komplek rumah. Kalo di jalan raya takutnya di sangka gembel.

“Tujuh.”

“Tiga, TUH KAN UDAH GUE BILANG MOBIL PUTIH TUH JARANG LEWAT!” sungut Sadena yang lama-lama malah kesal karena mobil berwarna putih jarang sekali muncul di hadapan mereka.

'Cause I, I've been waiting. For this so long, oh, long. And I, I Will always keep you safe.

Sadena kemudian mengeluarkan sebuah earphone dari kantung jaketnya. Menyambungkan benda tersebut pada ponselnya kemudian memberikan salah satunya pada Sabrina.

“Ini punya bang Arga kan?” tanya Sabrina.

Earphone berwarna putih, pasti milik Arganata. Cowok itu memang lebih senang menggunakan earphone ketimbang airpods. Pasalnya, cowok itu sering kali kehilangan benda itu.

“Iya, sengaja gue bawa. Biar bang Arga kesel setengah mampus nyariin earphone kesayangan dia,” jawab Sadena diakhiri dengan tawa.

If we ever get into a fight. Listen to me, babe. Don't let it take over us. If you miss the way we used to be. Put us on the phone, instead. Of you just cryin' all night.

“Adek biadab lo.”

Sadena hanya mengedikkan bahunya. Cowok itu kemudian memainkan sebuah lagu dari playlistnya. Keep you safe, menjadi judul lagu pertama yang keduanya dengarkan.

“Sebelas.”

“Dua belas.”

“Ish! Gue masih lima!” keluh Sadena.

When I first met you. I knew that we can be. Together forever. Night we spent so long. Until you're asleep. On my lip

Nampaknya lagu yang diputar lebih menarik ketimbang mobil-mobil yang berlalu lalang di hadapan Sabrina. Gadis itu memejamkan matanya, menikmati alunan melodi yang keluar setiap detiknya.

“Lima belas.”

Sabrina membuka matanya pelan, “loh, kok udah lima belas lagi?”

Sadena mengedikkan bahunya, lagi. “Tadi banyak mobil putih lewat. Lo nya aja yang gak liat.”

“Lo bohong yah?!”

“Dih, kagak! Beneran lewat, Bina.”

Sabrina terdiam membiarkan Sadena menang atas statement yang dia buat. Bait lagu terakhir selesai dinyanyikan. Dan saat itu juga perlombaan yang mereka gelar selesai.

“Gue menang,” ucap Sadena.

“Curang.”

“Lo yang curang! Dari awal sengaja milih mobil warna item. Jelek ah, gak like gue!”

Sabrina terkekeh pelan, “ya udah. Lo menang. Sekarang lo sebutin permintaan lo.”

Sadena tersenyum lebar atas kemenangannya. Kemudian cowok itu mendekat ke arah Sabrina dan mengecup pelan pipi gadis itu.

'Cause I, I've been waiting. For this so long, oh, long And I

“Be mine, Sabrina.”

I will always keep you safe