Luluh Lantak
“Nanti juga Sadena kesini, kenapa ngeyel banget sih?”
Sabrina tidak peduli, baginya suara yang keluar dari mulut Ansel itu cuman angin lalu. Walaupun keadaannya lemas dan nafasnya agak tidak leluasa tapi gadis itu kekeuh untuk menjemput Sadena di depan rumah sakit. Laki-laki itu bilang hari ini dia mau naik taksi soalnya kendaraan miliknya sendiri sedang dalam masa sita.
Gara-gara telat kasih makan cupang milik kakaknya, Arganata.
“Bina, jangan ngeyel deh!”
Bina hanya mengedikkan bahu, Ansel saja tidak dia dengarkan apalagi Axel. Gadis itu kemudian menepuk pelan lengan Ansel, memberi tanda bahwa laki-laki itu harus segera mendorong kursi rodanya.
“Bentar, ambil jaket dulu.”
Awalnya Sabrina pikir jaket yang diambil Ansel itu untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata laki-laki itu malah menjulurkannya pada Sabrina.
“Pake, dingin diluar.”
Sabrina menarik jaket itu. Jaket berwarna hijau mint yang selalu laki-laki itu bawa kemana mana. Sabrina sendiri tidak langsung memakai jaket itu, hanya disampirkan pada kedua bahunya. Sulit memang, lengannya terpasang selang infus jadi ya agak susah.
Ansel mulai mendorong kursi rodanya keluar dari ruang inap Sabrina. Melewati lorong-lorong rumah sakit, ruangan-ruangan yang memiliki berbagai macam fungsi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah sakit.
Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti tepat di seberang mereka. Begitu mobil tersebut melaju pergi, seorang laki-laki tinggi semampai tersenyum dari arah sebrang sambil melambaikan tangannya. Sabrina tentu membalas lambaian tangan itu, juga senyum manis yang Sadena berikan dari kejauhan.
“Bina, gue beli obat nyamuk dulu deh.”
Rasa-rasanya memang Ansel sedikit tidak tepat berada di situasi sekarang. Menjadi saksi bagaimana dua anak manusia itu saling merajut asmara walau tanpa hubungan yang pasti diantara keduanya.
“Jangan gitu lah masa nan— SADENA AWAS!!!!”
Baik Sabrina, Ansel bahkan orang-orang disekitar mereka cukup terkejut kala sebuah mobil menghantam tubuh Sadena begitu kencang. Tubuhnya bahkan sampai terpental hingga radius lima meter dan jatuh menggesek aspal.
Tanpa basa-basi Sabrina langsung berlari, menghampiri Sadena yang terbaring dengan berlumuran banyak darah. Tidak peduli dengan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
“SADENA! BANGUN SADENA!”
Gadis itu mencoba menepuk pelan pipi Sadena sambil menangis meraung-raung, memanggil nama laki-laki dalam dekapannya sebanyak dan sekencang mungkin.
Sadena membuka mata, dan sempat terbatuk meski diakhiri dengan keluarnya cairan merah kental dari mulutnya.
“SADENA!”
“B-bina, c-cantik.”
Tangan laki-laki yang penuh dengan darah itu terulur untuk menyentuh pipi gadis yang kini nampak samar dalam penglihatannya.
“B-bina, lo har-rus sembuh yah? G-gue sayang s-sama lo.”
“Sadena, jangan gini!” Sabrina jadi makin panik dibuatnya.
“B-bina, b-boleh gue p-pulang ke langit?”
“ENGGAK SADENA ENGGAK! SEBENTAR AJA, BERTAHAN SEBENTAR AJA DEMI GUE SADENA!”
Namun kedua kelopak mata Sadena menutup dan lengannya kehilangan kuasa. Detik itu juga, Sabrina kehilangan separuh semestanya.
“SADENA!”
Ansel mencoba menarik tubuh Sadena begitu petugas rumah sakit datang menghampiri mereka dan segera melakukan tindakan.
“Sel, Sadena masih nafas sel! Sadena masih hidup, SADENA GAK BAKALAN NINGGALIN GUE KAN SEL?! JAWAB SEL!”
Ansel menarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya erat-erat, sakit rasanya melihat Sabrina menangis meraung-raung memanggil nama Sadena sebanyak dan sekencang mungkin. Dadanya terasa tercabik-cabik.
“KENAPA SADENA DITUTUP KAIN?! SADENA GAPAPA DIA CUMAN TIDUR DOANG! ANSEL, SADENA GAPAPA SEL!”
Tangis Sabrina semakin pecah begitu tubuh Sadena dibawa masuk ke dalam rumah sakit, jasad Sadena lebih tepatnya.
“Sabrina, dengerin gue.”
“Enggak, sel. Sadena gapapa sel.”
“Bina ikhlas yah?—”
”—Sadena udah pulang, Sadena udah gak ada.”