Pchss

I can't show you how to love yourself

But I promise you. I'll be the one by your side. I won't tell you the truth about love

It's so difficult for me

Babe, I don't want you to get hurt

When I first met you, I knew that we can be. Together forever. Night we spent so long. Until you're asleep On my lip

'Cause I, I've been waiting. For this so long, oh, long. And I, I Will always keep you safe.

If we ever get into a fight. Listen to me, babe. Don't let it take over us. If you miss the way we used to be. Put us on the phone, instead. Of you just cryin' all night

When I first met you. I knew that we can be. Together forever. Night we spent so long. Until you're asleep. On my lip

'Cause I, I've been waiting. For this so long, oh, long And I

I will always keep you safe

Sabrina meletakkan ponselnya ke atas nakas setelah baterainya mulai terisi perlahan. Senyumnya belum luntur sejak Sadena mengirimnya pesan beberapa menit yang lalu. Cowok itu enggak pernah gagal bikin Sabrina senyum, bahkan saat suasana cewek itu lagi jelek banget.

Sebelum turun ke lantai bawah Sabrina mengelus tubuh Orion yang tengah terlelap di atas lantai. Kucing itu padahal sudah Sabrina belikan temoat tidur sendiri tapi malah memilih tidur di lantai. Enggak masalah sih kalo Orion lebih nyaman tidur di bawah lantai.

Langkah kaki Sabrina pada akhirnya membawa gadis itu berhenti di depan meja makan. Nampak Fany sang Mami sibuk menata beberapa lauk pauk ke atas meja.

“Makasih Mami,” ucap Sabrina saat Fany selesai menata lauk pauk dan mengambil tempat duduk di hadapannya. Sabrina nampak sedikit menoleh ke arah samping, kursi itu sudah kosong sejak lama. Maksudnya kosong saat ia makan bersama mami nya.

Sabrina lupa kapan terakhir kali dia makan di meja yang sama dengan kedua orang tuanya. Hal yang baru saja Sabrina ketahui akhir-akhir ini membuat dirinya sedikit menyimpan kebencian pada sosok Papinya. Terlebih saudara tirinya yang selalu bersikap tidak mengenakkan.

“Sabrina,” panggil Fany dengan nada pelan. Cewek itu langsung beralih pada Fany.

“Kenapa, Mi?”

Fany nampak menurunkan pandangannya, kemudian meletakkan alat makannya ke atas meja.

“Soal omongan kamu di chat tempo lalu,” Sabrina terdiam dia mencoba mengingat sejenak tentang obrolannya dengan sang Mami tempo lalu.

“Oh itu,” ucap Sabrina setelah gadis itu berhasil mendapatkan ingatannya.

“Sebenernya mami udah pernah mikirin ini sebelum kamu nanya. Papi kamu juga enggak keberatan, tapi yang kita pikirin cuman kamu, Bina.”

Sabrina terdiam, gerakan tangannya pun ikut terhenti. Entah kenapa dadanya terasa sesak padahal tempo lalu Sabrina dengan mudahnya menyuruh Mami dan Papinya berpisah.

“Mami tahu, mami ngerti gimana keadaan mental seorang anak kalo ternyata orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Mami dan papi kamu berpikir sampai kesana, Bina. Mami enggak mau kamu kekurangan perhatian dan jadi anak broken home seperti apa yang orang luar pikirkan. Jadi mami baru ngomong sama kamu setelah kamu sendiri yang bertanya hal itu.”

“Meskipun umur kamu terbilang sudah dewasa tapi mami paham, enggak ada anak yang baik-baik aja setelah kedua orang tuanya berpisah.”

Sabrina masih terdiam, kini alat makannya sudah tergeletak di atas meja makan.

“Mami enggak mau kalo mami sama papi kamu berpisah tanpa mau mendengarkan pendapat kamu, Bina. Keluarga itu bukan cuman mami dan papi, tapi kamu. Kamu juga berperan penting dalam pisahnya mami atau papi kamu. Mami enggak mau jadi seorang ibu yang egois yang hanya memikirkan soal dirinya sendiri, mami sadar betul kalo mami punya kamu yang bisa aja kamu enggak mau orang tuanya berpisah. Maka dari itu, mami cuman mau minta pendapat kamu.”

Sabrina menghela nafasnya pelan, “Mami. Bina juga enggak mau bikin mami terjebak dalam situasi yang enggak mami mau. Bina paham kalo mami dan papi emang enggak bisa ngejalin hubungan lagi. Bina bahagia meskipun hidup hanya berdua dengan mami. Dari kecil Bina cuman diperhatikan sama mami, Bina kira papi sering kerja ke luar kota tapi ternyata diluar sana ada keluarga lain yang nunggu papi pulang.”

“Mami, Bina udah gede dan Bina tau konsekuensi dari perceraian orang tua. Tapi Bina juga enggak masalah, Bina enggak mau mami terus terusan enggak bahagia. Bina cuman mau mami bahagia, karena cuman dengan mami bahagia Bina bakalan ikut bahagia.”

Fany tersenyum pelan dengan mata yang sudah berkaca-kaca, melihat bagaimana putrinya tumbuh dengan pemikiran yang begitu dewasa membuat Fany merasa bahwa ia cukup berhasil mendidik seorang anak.

“Jadi mami, kalo keputusan kalian itu berpisah Bina bakalan terima dengan lapang dada. Karena semua yang dilakukan dengan terpaksa itu enggak baik, mi.”

Sabrina meletakkan ponselnya ke atas nakas setelah baterainya mulai terisi perlahan. Senyumnya belum luntur sejak Sadena mengirimnya pesan beberapa menit yang lalu. Cowok itu enggak pernah gagal bikin Sabrina senyum, bahkan saat suasana cewek itu lagi jelek banget.

Sebelum turun ke lantai bawah Sabrina mengelus tubuh Orion yang tengah terlelap di atas lantai. Kucing itu padahal sudah Sabrina belikan temoat tidur sendiri tapi malah memilih tidur di lantai. Enggak masalah sih kalo Orion lebih nyaman tidur di bawah lantai.

Langkah kaki Sabrina pada akhirnya membawa gadis itu berhenti di depan meja makan. Nampak Fany sang Mami sibuk menata beberapa lauk pauk ke atas meja.

“Makasih Mami,” ucap Sabrina saat Fany selesai menata lauk pauk dan mengambil tempat duduk di hadapannya. Sabrina nampak sedikit menoleh ke arah samping, kursi itu sudah kosong sejak lama. Maksudnya kosong saat ia makan bersama mami nya.

Sabrina lupa kapan terakhir kali dia makan di meja yang sama dengan kedua orang tuanya. Hal yang baru saja Sabrina ketahui akhir-akhir ini membuat dirinya sedikit menyimpan kebencian pada sosok Papinya. Terlebih saudara tirinya yang selalu bersikap tidak mengenakkan.

“Sabrina,” panggil Fany dengan nada pelan. Cewek itu langsung beralih pada Fany.

“Kenapa, Mi?”

Fany nampak menurunkan pandangannya, kemudian meletakkan alat makannya ke atas meja.

“Soal omongan kamu di chat tempo lalu,” Sabrina terdiam dia mencoba mengingat sejenak tentang obrolannya dengan sang Mami tempo lalu.

“Oh itu,” ucap Sabrina setelah gadis itu berhasil mendapatkan ingatannya.

“Sebenernya mami udah pernah mikirin ini sebelum kamu nanya. Papi kamu juga enggak keberatan, tapi yang kita pikirin cuman kamu, Bina.”

Sabrina terdiam, gerakan tangannya pun ikut terhenti. Entah kenapa dadanya terasa sesak padahal tempo lalu Sabrina dengan mudahnya menyuruh Mami dan Papinya berpisah.

“Mami tahu, mami ngerti gimana keadaan mental seorang anak kalo ternyata orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Mami dan papi kamu berpikir sampai kesana, Bina. Mami enggak mau kamu kekurangan perhatian dan jadi anak broken home seperti apa yang orang luar pikirkan. Jadi mami baru ngomong sama kamu setelah kamu sendiri yang bertanya hal itu.”

“Meskipun umur kamu terbilang sudah dewasa tapi mami paham, enggak ada anak yang baik-baik aja setelah kedua orang tuanya berpisah.”

Sabrina masih terdiam, kini alat makannya sudah tergeletak di atas meja makan.

“Mami enggak mau kalo mami sama papi kamu berpisah tanpa mau mendengarkan pendapat kamu, Bina. Keluarga itu bukan cuman mami dan papi, tapi kamu. Kamu juga berperan penting dalam pisahnya mami atau papi kamu. Mami enggak mau jadi seorang ibu yang egois yang hanya memikirkan soal dirinya sendiri, mami sadar betul kalo mami punya kamu yang bisa aja kamu enggak mau orang tuanya berpisah. Maka dari itu, mami cuman mau minta pendapat kamu.”

Sabrina menghela nafasnya pelan, “Mami. Bina juga enggak mau bikin mami terjebak dalam situasi yang enggak mami mau. Bina paham kalo mami dan papi emang enggak bisa ngejalin hubungan lagi. Bina bahagia meskipun hidup hanya berdua dengan mami. Dari kecil Bina cuman diperhatikan sama mami, Bina kira papi sering kerja ke luar kota tapi ternyata diluar sana ada keluarga lain yang nunggu papi pulang.”

“Mami, Bina udah gede dan Bina tau konsekuensi dari perceraian orang tua. Tapi Bina juga enggak masalah, Bina enggak mau mami terus terusan enggak bahagia. Bina cuman mau mami bahagia, karena cuman dengan mami bahagia Bina bakalan ikut bahagia.”

Fany tersenyum pelan dengan mata yang sudah berkaca-kaca, melihat bagaimana putrinya tumbuh dengan pemikiran yang begitu dewasa membuat Fany merasa bahwa ia cukup berhasil mendidik seorang anak.

“Jadi mami, kalo keputusan kalian itu berpisah Bina bakalan terima dengan lapang dada. Karena semua yang dilakukan dengan terpaksa itu enggak baik, mi.”

Nathaniel benar-benar menginjakkan kakinya di ballroom itu. Dari ambang pintu ballroom, Nathaniel bisa melihat bagaimana Alea dan Jarell nampak mengumbar senyum bahagia mereka. Kedua sudut bibir Nathaniel terangkat, ada rasa hangat saat ia menatap Alea. Yang kini sudah mutlak menjadi milik orang.

“Woy, ngelamun aja. Katanya mau nyumbang lagu mantan terindah.”

Nathaniel tersentak dengan tepukan pelan di bahunya. Jeano, dengan kemeja dan jas berwarna merah muda yang nampak serasi dengan Sasha juga tema dari resepsi malam ini. Nathaniel memutar bola matanya pelan, merasa sedikit kesal dengan Jeano.

“Ayo. Band nya tau kok lagu mantan terindah.”

“DIEM LO!”

“Nathan lo beneran mau nyumbang lagu itu? Gue videoin deh biar nanti viral,” ucap Sasha sambil mengeluarkan ponselnya.

“Gak usah aneh-aneh, Sa.”

Langkah kaki Nathaniel membawanya ke area panggung hiburan. Membuat Jeano dan Sasha saling mengadu pandang, mereka pikir Nathaniel tidak akan melakukan hal itu tapi ternyata cowok itu tidak main-main.

Sebuah Mic berhasil Nathaniel dapatkan. Beberapa tamu wanita yang kebetulan lajang langsung mendekat ke area panggung. Sasha sendiri sudah menyiapkan kamera untuk merekam aksi Nathaniel. Siapa tau kan bisa jadi viral.

Alih-alih membawakan lagu Mantan terindah seperti yang dikatakan oleh Jeano, atau lagu Congratulations dan No longer yang pernah cowok itu janjikan kepada Alea via chat, Cowok itu memilih menyumbang lagu yang cukup membuat orang-orang kaget.

Lagu dengan judul menikahimu milik Kahitna menjadi lagu yang Nathaniel nyanyikan malam ini. Alea tidak cukup buta atau tuli untuk mengetahui keberadaan Nathaniel di atas panggung.

Musik mulai mengalun seiring dengan suara Nathaniel yang cukup merdu. Alea tersenyum pelan, ia cukup paham bagaimana perasaan cowok itu. Di sebelahnya, Jarell diam-diam memperhatikan Alea yang juga tengah memperhatikan Nathaniel. Genggamannya di lengan Alea perlahan mengerat, kemudian pria itu mengelus punggung tangan Alea dengan lembut.

“Kak, maaf.”

Alea kaget, dia baru sadar kalau sejak tadi fokusnya terlalu berpusat pada Nathaniel.

“Enggak masalah. Nathan baik banget mau nyumbang lagu.”

Alea mengangguk pelan, “Kak Jarell gak masalah dia disini?”

“Al, I did not sad when I knew I was not your first love. But I would try harder to became your last love,” jawab Jarell diakhiri dengan sebuah kecupan pelan di kening Alea, yang mana sempat Nathaniel lihat bersamaan dengan cowok itu menyelesaikan bait terakhir dari lagu yang dinyanyikannya.

Pada kenyataannya Nathaniel tidak selapang dada seperti yang dipikirkan orang kebanyakan. Cowok itu masih berdiri di atas panggung dan memberi kode untuk menyanyikan lagu kedua. Pesan terakhir, menjadi lagu kedua yang Nathaniel bawakan. Kayaknya kalau seseorang datang ke acara nikahan mantannya belum afdol kalau belum terlihat tersakiti.

Ya meskipun pada akhirnya Nathaniel berhasil menyelesaikan lagu keduanya dan berjalan mendekati Alea dan Jarell. Mengucapkan selamat atas babak baru yang akan dilalui keduanya.

Nathaniel turun dari pelaminan dengan wajah datar, dia tidak sempat memeluk Alea. Ya mau bagaimana lagi, malu. Lagian Nathaniel juga masih punya harga diri untuk tidak sembarangan memeluk istri orang.

Tepukan pelan di bahu Nathaniel membuatnya menolehkan kepala ke arah kanan, disana terdapat Jordan yang juga menatap ke arahnya.

“Lo hebat, Nat. Merelakan orang yang kita cintai bahagia sama orang lain bukan perkara yang gampang.”

Tak lama berselang, Jeano mendekati keduanya hingga kini posisinya Nathaniel berdiri diantara Jordan dan Jeano.

“Gue bahagia, asal Al bahagia. Enough.”

“Jadi sampe sini ya, Nat? Jalan cerita lo sama Al. Berakhir di pelaminan tapi sama orang lain,” ujar Jordan.

“Kita emang gak pernah tau gimana skenario semesta, dan yaaa. Gue dapet ending kayak gini.”

Jeano mengangguk kemudian menambahkan, “bener apa kata orang. Sebesar apa lo cinta sama orang enggak menjamin lo bakalan berakhir sama dia. Kalo enggak jadi mempelai ya jadi tamu undangan.”

Jordan kembali menepuk pelan bahu Nathaniel. “You did well, Nathan. And you deserves better.”

Alea mematikan ponselanya kemudian sedikit membenturkan kepalanya sendiri pada kemudi mobilnya. Gadis itu bersandar pada jok mobilnya kemudian menghela nafas sedalam mungkin.

Tanpa pikir panjang lagi, Alea pergi meninggalkan mobilnya kemudian berlari ke dalam bandara dengan pipi yang basah. Pandangan gadis itu sedikit memburam bahkan sempat terjatuh karena tidak sengaja menabrak orang.

Dalam radius sepuluh meter Alea bisa melihat seorang Nathaniel terduduk dengan kepala yang menunduk.

Nathaniel, Sasha, dan Jeano bahkan terkejut melihat kedatangan Alea dengan keadaan kacau. Sasha yang tadinya kesal setengah mati dengan Alea malah menatap gadis itu iba.

Alea berlari ke dalam pelukan laki-laki itu. Tangisnya pecah. Sasha bahkan mengalihkan pandangannya karena tidak tahan dengan pemandangan di hadapannya.

“Hey, kok nangis sih?” tanya Nathaniel sambil menangkup wajah Alea dengan kedua tangannya. Tidak lupa menghapus setiap bulir air yang keluar dari kedua pelupuk matanya.

“Nathan, lo gak bisa disini aja?” tanya Alea dengan sedikit sesegukan.

“Enggak bisa, Al.”

“Gue pikir semesta beneran baik sama gue. Tapi ternyata enggak, dia jahat banget.”

Nathaniel kembali menarik tubuh Alea yang masih bergetar, tangisnya belum mereda bahkan sepertinya semakin parah.

“Gue juga berat ninggalin lo, Al. Tapi gue kan udah janji buat nikahin lo. Jadi gue bakalan janji buat balik lagi.”

Alea tiba-tiba terdiam, “Nathan. Jangan.”

“Semakin lo larang semakin gue langgar, Al. Gue tau lo masih sayang sama gue. Buktinya lo masih mau nganterin gue dan nangis di depan gue? Sampe ingusnya keluar gitu.”

Alea jadi kesal karena Nathaniel malah meledeknya.

“Jaga diri baik-baik, Nathan.”

“Iya, gue janji. Sampai jumpa dimasa depan, Al. Inget satu hal. Meeting you was fate, becoming your friend was choice, but falling in love with you was completely out of my control. I've totally fallen for you, Love you always. Gue pamit ya, Al.”

“Love you too, Nathan.”

Seharian ini Alea dan Nathaniel habiskan di galeri. Rasanya Alea lebih tenang saat berada di tempat yang menurut orang kebanyakan cukup membosankan. Nathaniel tidak pernah keberatan bahkan jika harus terjebak semalam penuh bersama dengan Alea. Demi melihat gadis yang ia cintai tersenyum, apa salahnya?

“Nanti kalo udah lulus pengen deh bikin pameran juga,” ucap Alea sambil menyentuh pelan sudut bingkai salah satu lukisan di hadapannya.

“Bisa, nanti galeri lo pasti penuh. Yakin deh, nanti gue yang bakalan jadi pengunjung pertama!” ujar Nathaniel.

Alea menggeleng kepala pelan, “ngarep banget.”

Nathaniel menarik kedua sudut bibirnya pelan. Cantik, dimatanya Alea selalu cantik. Senyum Nathaniel kemudian memudar, sanggupkah ia kalau harus meninggalkan gadis ini? Sebagian jiwa laki-laki itu bahkan telah direnggut oleh gadisnya.

“Al, di masa depan nanti lo nikahnya sama gue yah?” tanya Nathaniel sambil mereka berjalan ke arah pintu kelur galeri.

“Kenapa? Kan jodoh enggak ada yang tau,” jawab gadis itu.

“Harus sama gue, Al. Gue beneran enggak tau bakalan kayak gimana kalo seandainya gue gak berakhir sama lo.”

Alea sedikit menundukkan kepalanya, tersenyum pelan. Setibanya di pintu keluar galeri, Alea dan Nathaniel sama-sama mendongak ke arah langit yang ternyata sudah berganti warna menjadi jingga.

“Gue enggak perlu denger lo bilang cinta sama gue, cukup gue yang bilang kayak gitu. Gue mampu, dan gue mau.”

Alea menoleh ke samping, sedikit mendongak untuk membuat peraduan antara bola mata miliknya dengan bola mata laki-laki di sampingnya itu.

“Nat, jatuh cinta sendirian itu enggak enak. Jangan yah? Jangan sia-siain cinta tulus lo buat orang yang bahkan enggak ngerti sama perasaanya sendiri.”

Nathaniel menarik lengan Alea dan merapatkan jemari mereka, Nathaniel kembali tersenyum kemudian menarik Alea untuk berpindah menuju tempat parkir.

“Deg-degan banget pas pegang tangan lo, Al. Karena udah lama kali yah. Menurut lo, tangan itu bakalan gue genggam lagi gak di kemudian hari?”

Alea memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona merah jambu di pipinya. Lantunan lagu Strawberry & Cigarettes mengalun pelan mengisi keheningan di mobil Nathan sore itu.

“Nathan,” panggil Alea setelah memalingkan wajahnya menghadap ke arah laki-laki itu. “Lo enggak bakalan pergi kemana-mana kan?” tanya Alea.

Itu dia. Pertanyaan yang Nathaniel hindari. Dirinya belum siap mengucap salam perpisahan pada gadisnya. “Enggak.”

“Bohong.”

“Enggak, Al. Gue gak bakalan kemana-mana.”

Seberapa besar Nathaniel meyakinkan Alea bahwa laki-laki itu tidak akan kemana-mana tetap saja perasaan Alea mengatakan sebaliknya. Semenjak Nathaniel mengatakan hal buruk tempo lalu, pikiran Alea selalu tertuju pada akhir yang tidak baik.

“Enggak ada yang bisa pisahin kita, Al. Percaya sama gue.”

“Kalo ternyata lo ninggalin gue?”

Nathaniel menghela nafasnya pelan, Alea bahkan sudah menahan air matanya mati-matian.

“Dari awal lo yang ninggalin gue, Al. Lo boleh kayak gitu, lo boleh jauhin gue, lo boleh pergi dari gue. Tapi inget satu hal, Al. Kalo di tengah jalan nanti ternyata lo terluka, gue siap jadi tempat lo berpulang.”

Sia-sia Alea menahan air matanya, tarikan pelan dari Nathan meruntuhkan seluruh pertahanannya. Gadis itu menangis di dalam dekapan laki-laki favoritnya. Menumpahkan seluruh kesal, amarah, sedih, gelisah, dan rindu yang belum sempat terbalas.

“Al, percaya sama gue. Semesta gak bakalan sejahat itu sama kita.”

Hsknznz sbh

Vsjsn hskbsbs jxbbxnxn nxksnbsx jxbbx x

Nxjdn xkdn Bdjdjdj Bxjdndjdjdnndod Jxjdbdb

Ndkdndnndndndkdnxkdnskdjnz djkdndkxbdb sixbejd diebeke diebd ekebdkebjd edjdbd djdbdb