Selamat Berbahagia

Apa yang harus dilakukan seseorang saat datang ke acara pernikahan mantan?

Tentu, mengucap selamat.

Pun hal ini dilakukan oleh Cia. Didampingi oleh Dion, perempuan itu berjalan dengan anggun menuju pelaminan dengan niat memberi ucapan selamat pada kedua mempelai yang seharusnya berbahagia.

“Lo cantik banget!”

Bukannya si pengantin yang mendapat pujian, malah Cia yang mendapat pujian dari pengantin perempuannya. Layaknya dua orang teman yang sudah lama tidak berjumpa, Cia dan Zahra saling memeluk satu sama lain. Tidak lupa ia ucapkan selamat seperti apa yang memang dia rencanakan sejak awal.

“Lo yang paling cantik.”

“Bisa aja. Eh ini siapa?”

Dion tersenyum pelan pada Zahra kemudian tersenyum lebih kecut pada Ares yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya ke arah Cia.

“Calon suami Cia.”

Sedikit bingung, pasalnya tempo lalu yang mengaku sebagai calon suami Cia bukannya orang yang sekarang berdiri disamping perempuan itu.

“Ini yang bener kok,” ucap Cia sambil merangkul lengan Dion.

“Oalah, selamat yah. Cepet nyusul!”

Cia dan Dion tersenyum, kemudian Cia beralih pada Ares. Meraih lengan pria itu sambil melempar senyuman terbaik yang seharusnya membuat Ares merasa menyesal telah memilih perempuan lain.

“Selamat yah!”

Ares masih terdiam, tidak bereaksi apa-apa. Dingin menyelimuti telapak tangan Ares saat ia menyentuh perempuan itu.

Tidak perlu berlama-lama, Dion menarik pelan lengan Ares dan memisahkannya dengan lengan Cia. Senyumnya mengembang dengan maksud mengejek pelan.

“Kak, aku ke toilet dulu yah?” ucap Cia setelah selesai memberi selamat pada kedua mempelai.

“Saya tunggu disini yah?”

Cia mengangguk, kemudian beranjak ke arah sisi gedung untuk menemukan toilet. Tidak lama untuk ia menemukan ruangan itu. Lantas Cia segera menuntaskan urusannya di dalam toilet, tidak lupa merapihkan baju dan riasannya.

Langkah kaki Cia berhenti begitu menatap sosok lelaki yang berdiri sambil bersandar pada tembok.

“Ares, ngapain?”

Ares terinterupsi, lelaki itu kemudian melangkah lebih dekat ke arah Cia. Cia sendiri langsung mengedarkan pandangannya ke berbagai sudut, takutnya ada yang melihat dan berpikir yang tidak-tidak.

“Cia, maaf.”

Maaf.

Kata yang sebenarnya tidak bisa Cia terima untuk detik ini.

“Apanya yang mau dimaafin, Res?”

Ares membisu.

“Lo udah nikah sama Zahra, temen deket gue sendiri. Jadi udah gak ada urusan lagi sama gue ya, Res?” ucap Cia sambil berniat meninggalkan tempat itu.

Tapi langkahnya terhenti saat Ares dengan segera menahan lengan Cia.

“Gue sayang sama lo, tapi gue gak bisa tinggalin Zahra, Cia.”

Cia masih terdiam, lengannya masih ditangan oleh Ares namun pandangan matanya tak mau menatap barang sedetik pun pada Ares.

“Memang cowok tuh gak bisa cukup sama satu cewek yah, Res?” Ares terdiam, perlahan lengan Cia dia lepaskan.

“Gue masih baik, Res. Gue gak kasih tau Zahra apa yang pernah ada diantara kita.”

Lagi-lagi Ares hanya bisa membungkam mulutnya.

“Makasih, Res. Makasih udah bikin gue jadi perempuan yang merasa paling disayangi. Gue titip Zahra. Seenggaknya, lo gak bisa bersikap brengsek buat dia kan?”

Manik mata keduanya kini saling bertabrakan, saling menatap ke arah bola mata yang sama-sama menyimpan rasa sakit, kesal, amarah, dan,

Rindu.

“Selamat berbahagia, Ares.”