Last Message
Seharian ini Alea dan Nathaniel habiskan di galeri. Rasanya Alea lebih tenang saat berada di tempat yang menurut orang kebanyakan cukup membosankan. Nathaniel tidak pernah keberatan bahkan jika harus terjebak semalam penuh bersama dengan Alea. Demi melihat gadis yang ia cintai tersenyum, apa salahnya?
“Nanti kalo udah lulus pengen deh bikin pameran juga,” ucap Alea sambil menyentuh pelan sudut bingkai salah satu lukisan di hadapannya.
“Bisa, nanti galeri lo pasti penuh. Yakin deh, nanti gue yang bakalan jadi pengunjung pertama!” ujar Nathaniel.
Alea menggeleng kepala pelan, “ngarep banget.”
Nathaniel menarik kedua sudut bibirnya pelan. Cantik, dimatanya Alea selalu cantik. Senyum Nathaniel kemudian memudar, sanggupkah ia kalau harus meninggalkan gadis ini? Sebagian jiwa laki-laki itu bahkan telah direnggut oleh gadisnya.
“Al, di masa depan nanti lo nikahnya sama gue yah?” tanya Nathaniel sambil mereka berjalan ke arah pintu kelur galeri.
“Kenapa? Kan jodoh enggak ada yang tau,” jawab gadis itu.
“Harus sama gue, Al. Gue beneran enggak tau bakalan kayak gimana kalo seandainya gue gak berakhir sama lo.”
Alea sedikit menundukkan kepalanya, tersenyum pelan. Setibanya di pintu keluar galeri, Alea dan Nathaniel sama-sama mendongak ke arah langit yang ternyata sudah berganti warna menjadi jingga.
“Gue enggak perlu denger lo bilang cinta sama gue, cukup gue yang bilang kayak gitu. Gue mampu, dan gue mau.”
Alea menoleh ke samping, sedikit mendongak untuk membuat peraduan antara bola mata miliknya dengan bola mata laki-laki di sampingnya itu.
“Nat, jatuh cinta sendirian itu enggak enak. Jangan yah? Jangan sia-siain cinta tulus lo buat orang yang bahkan enggak ngerti sama perasaanya sendiri.”
Nathaniel menarik lengan Alea dan merapatkan jemari mereka, Nathaniel kembali tersenyum kemudian menarik Alea untuk berpindah menuju tempat parkir.
“Deg-degan banget pas pegang tangan lo, Al. Karena udah lama kali yah. Menurut lo, tangan itu bakalan gue genggam lagi gak di kemudian hari?”
Alea memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona merah jambu di pipinya. Lantunan lagu Strawberry & Cigarettes mengalun pelan mengisi keheningan di mobil Nathan sore itu.
“Nathan,” panggil Alea setelah memalingkan wajahnya menghadap ke arah laki-laki itu. “Lo enggak bakalan pergi kemana-mana kan?” tanya Alea.
Itu dia. Pertanyaan yang Nathaniel hindari. Dirinya belum siap mengucap salam perpisahan pada gadisnya. “Enggak.”
“Bohong.”
“Enggak, Al. Gue gak bakalan kemana-mana.”
Seberapa besar Nathaniel meyakinkan Alea bahwa laki-laki itu tidak akan kemana-mana tetap saja perasaan Alea mengatakan sebaliknya. Semenjak Nathaniel mengatakan hal buruk tempo lalu, pikiran Alea selalu tertuju pada akhir yang tidak baik.
“Enggak ada yang bisa pisahin kita, Al. Percaya sama gue.”
“Kalo ternyata lo ninggalin gue?”
Nathaniel menghela nafasnya pelan, Alea bahkan sudah menahan air matanya mati-matian.
“Dari awal lo yang ninggalin gue, Al. Lo boleh kayak gitu, lo boleh jauhin gue, lo boleh pergi dari gue. Tapi inget satu hal, Al. Kalo di tengah jalan nanti ternyata lo terluka, gue siap jadi tempat lo berpulang.”
Sia-sia Alea menahan air matanya, tarikan pelan dari Nathan meruntuhkan seluruh pertahanannya. Gadis itu menangis di dalam dekapan laki-laki favoritnya. Menumpahkan seluruh kesal, amarah, sedih, gelisah, dan rindu yang belum sempat terbalas.
“Al, percaya sama gue. Semesta gak bakalan sejahat itu sama kita.”