069

Sabrina meletakkan ponselnya ke atas nakas setelah baterainya mulai terisi perlahan. Senyumnya belum luntur sejak Sadena mengirimnya pesan beberapa menit yang lalu. Cowok itu enggak pernah gagal bikin Sabrina senyum, bahkan saat suasana cewek itu lagi jelek banget.

Sebelum turun ke lantai bawah Sabrina mengelus tubuh Orion yang tengah terlelap di atas lantai. Kucing itu padahal sudah Sabrina belikan temoat tidur sendiri tapi malah memilih tidur di lantai. Enggak masalah sih kalo Orion lebih nyaman tidur di bawah lantai.

Langkah kaki Sabrina pada akhirnya membawa gadis itu berhenti di depan meja makan. Nampak Fany sang Mami sibuk menata beberapa lauk pauk ke atas meja.

“Makasih Mami,” ucap Sabrina saat Fany selesai menata lauk pauk dan mengambil tempat duduk di hadapannya. Sabrina nampak sedikit menoleh ke arah samping, kursi itu sudah kosong sejak lama. Maksudnya kosong saat ia makan bersama mami nya.

Sabrina lupa kapan terakhir kali dia makan di meja yang sama dengan kedua orang tuanya. Hal yang baru saja Sabrina ketahui akhir-akhir ini membuat dirinya sedikit menyimpan kebencian pada sosok Papinya. Terlebih saudara tirinya yang selalu bersikap tidak mengenakkan.

“Sabrina,” panggil Fany dengan nada pelan. Cewek itu langsung beralih pada Fany.

“Kenapa, Mi?”

Fany nampak menurunkan pandangannya, kemudian meletakkan alat makannya ke atas meja.

“Soal omongan kamu di chat tempo lalu,” Sabrina terdiam dia mencoba mengingat sejenak tentang obrolannya dengan sang Mami tempo lalu.

“Oh itu,” ucap Sabrina setelah gadis itu berhasil mendapatkan ingatannya.

“Sebenernya mami udah pernah mikirin ini sebelum kamu nanya. Papi kamu juga enggak keberatan, tapi yang kita pikirin cuman kamu, Bina.”

Sabrina terdiam, gerakan tangannya pun ikut terhenti. Entah kenapa dadanya terasa sesak padahal tempo lalu Sabrina dengan mudahnya menyuruh Mami dan Papinya berpisah.

“Mami tahu, mami ngerti gimana keadaan mental seorang anak kalo ternyata orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Mami dan papi kamu berpikir sampai kesana, Bina. Mami enggak mau kamu kekurangan perhatian dan jadi anak broken home seperti apa yang orang luar pikirkan. Jadi mami baru ngomong sama kamu setelah kamu sendiri yang bertanya hal itu.”

“Meskipun umur kamu terbilang sudah dewasa tapi mami paham, enggak ada anak yang baik-baik aja setelah kedua orang tuanya berpisah.”

Sabrina masih terdiam, kini alat makannya sudah tergeletak di atas meja makan.

“Mami enggak mau kalo mami sama papi kamu berpisah tanpa mau mendengarkan pendapat kamu, Bina. Keluarga itu bukan cuman mami dan papi, tapi kamu. Kamu juga berperan penting dalam pisahnya mami atau papi kamu. Mami enggak mau jadi seorang ibu yang egois yang hanya memikirkan soal dirinya sendiri, mami sadar betul kalo mami punya kamu yang bisa aja kamu enggak mau orang tuanya berpisah. Maka dari itu, mami cuman mau minta pendapat kamu.”

Sabrina menghela nafasnya pelan, “Mami. Bina juga enggak mau bikin mami terjebak dalam situasi yang enggak mami mau. Bina paham kalo mami dan papi emang enggak bisa ngejalin hubungan lagi. Bina bahagia meskipun hidup hanya berdua dengan mami. Dari kecil Bina cuman diperhatikan sama mami, Bina kira papi sering kerja ke luar kota tapi ternyata diluar sana ada keluarga lain yang nunggu papi pulang.”

“Mami, Bina udah gede dan Bina tau konsekuensi dari perceraian orang tua. Tapi Bina juga enggak masalah, Bina enggak mau mami terus terusan enggak bahagia. Bina cuman mau mami bahagia, karena cuman dengan mami bahagia Bina bakalan ikut bahagia.”

Fany tersenyum pelan dengan mata yang sudah berkaca-kaca, melihat bagaimana putrinya tumbuh dengan pemikiran yang begitu dewasa membuat Fany merasa bahwa ia cukup berhasil mendidik seorang anak.

“Jadi mami, kalo keputusan kalian itu berpisah Bina bakalan terima dengan lapang dada. Karena semua yang dilakukan dengan terpaksa itu enggak baik, mi.”